Oleh John Nedy Kambang/Jurnalis CNN Indonesia TV
Hari-hari berikutnya lebih banyak dihabiskan di tempat tidur, karena kondisi badan yang tak bisa diajak kompromi. Saya coba berkunjung ke bidan terdekat, sekadar memeriksakan diri. Suhu badan di kisaran 37,4 derajat celcius. Panas yang tidak terlalu tinggi. Saya nikmati obat-obatan yang diberikan, namun tak kunjung sembuh. Saya belum ke lokasi tes swab, karena masih menganggap ini adalah sakit biasa. Pikiran yang salah, karena ternyata saya sebenarnya terkena Covid.
Saya datangi rumah sakit di bilangan Yos Sudarso, untuk memeriksakan apakah ada penyakit penyerta. Saya merasakan horror, karena melewati ruangan khusus yang disiapkan untuk Orang Dalam Pemantauan (ODP). Tidak ada orang lain di sana, kecuali saya sendiri. Dari hasil cek darah tidak ditemukan adanya indikasi penyakit lain. Tidak ada kemungkinan Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Typus. Aman..
Obat bidan habis, obat dari rumah sakit juga, tapi saya tak kunjung sembuh. Panas dingin masih menyerang, nafsu makan tak muncul juga. Akhirnya Labor didatangi. Kita tes, dan hasilnya yang tadi. Positif Corona.
Meskipun sudah siap dengan kemungkinan terburuk, namun serangan psikologi tetap terjadi. Disinilah pentingnya saling menguatkan. Karena saya terbuka dengan menginformasikan kondisi dan hasil tes, banyak masukan yang diterima. Saya jadi belajar dari banyak penderita, dari para penyintas atau alumni penyakit ini.
Saya juga ditopang oleh lingkungan yang solider. Tidak ada cibiran negatif, tidak ada yang menghindar. Semua bahkan mau mendekat. Namun tentu saja mendekat dengan cara yang berbeda; menguatkan, memberi motivasi dan bahkan mengirimkan segala kebutuhan kami sehari-hari, walaupun sesungguhnya kami tak kekurangan.
Karena tidak punya gejala yang mengkhawatirkan, saya memilih isolasi di rumah. Bayangan saya akan bisa memotret suasana ruang isolasi tak kesampaian. Saya benar-benar berkurung dalam rumah. Saya, istri dan anak terpisah kamar selama proses ini. Tak bersentuhan sama sekali. Tak ada lagi perjumpaan dengan orang-orang. Tak apalah, saya juga tak ingin tinggal di rumah sakit atau karantina. Lebih horror. Saya beruntung, tidak ada comorbid, beruntung sudah menghentikan rokok sejak bertahun-tahun lalu. Kalau tidak, entah apa yang mau dikata. Jantung, paru bisa jadi penyerta.
Dari para penyintas, saya dapat berbagai rekomendasi nama obat. Mulai dari obat biasa untuk meningkatkan imun, beragam vitamin, sampai obat Cina. Saya ingat pesan Emma Yohana, anggota DPD-RI yang juga terpapar Covid lebih dulu dari saya. Beliau ikut mengirimkan paket obat-obatan kepada saya.
“Corona ini belum ada obatnya. Jadi semua yang direkomendasikan orang, minum saja, asal baik. Bismillah saja,” katanya. Maka jadilah. Semua obat saya minum, termasuk rebusan Daun Sungkai yang maha pahit.
Selain minum obat, hari-hari saya habiskan untuk berjemur, membaca buku atau menonton acara-acara lucu dan gembira di televisi. Saya menghindari lihat berita, apalagi yang berat-berat. Tak saya pikirkan dunia penuh berita. Saya fokus ke penyembuhan, sampai pada tes swab berikutnya yang keluar di hari Kamis, 29 Oktober, hasilnya menunjukkan saya sudah negatif. Alhamdulillah.
Saya tidak tahu apa yang membuat saya bisa sembuh. Obat apakah yang berpengaruh, karena semua obat saya minum. Barangkali betul #kataKJ, Pemimpin Redaksi Harian Singgalang ini, Hati yang Riang Adalah Obat. Dan saya ingin riang-riang gembira saja sekarang.
Saya ingin titip pesan untuk semua. Penyakit ini benar adanya. Saya dan ribuan orang sudah merasakan bagaimana terinfeksi virus ini. Berhentilah dengan asumsi-asumsi bahwa ini konspirasi, karena sudah banyak korban di seluruh belahan dunia. Hal yang harus dilakukan adalah menerapkan protokol kesehatan sebaik-baiknya. Hal paling kecil tentu saja adalah menggunakan masker. Jangan sampai ikut terpapar, bahkan sampai meregang nyawa. Nanti menyesal. (selesai)