Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB – Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM – Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB – Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB – Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM – Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB – Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk mendirikan PSSI.
Jalan Hidup yang dipilih Soeratin
Kegiatan mengurus PSSI yang cukup sibuk dengan digulirkannya beberapa kompetisi rutin sejak 1931, pada akhirnya membawa Soeratin pada sebuah pilihan. Karena kecintaan pada sepak bola, Soeratin, yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, akhirnya bertaruh untuk memutuskan berhenti bekerja dari perusahaan konstruksi Belanda.
Padahal, gajinya di perusahaan itu lumayan besar dan memantapkan posisinya sebagai priayi. Di titik inilah, pertaruhan antara nasionalisme dan materi terjadi dalam kehidupan Soeratin. Hanya satu yang jadi tujuan bagi Soeratin, yakni agar Nusantara melalui sepak bola tak menjadi pecundang di antara sejumlah negara besar di dunia. Pilihan itu tepat, karena pada akhirnya Nusantara mampu berbicara di tingkat dunia, melalui keikutsertaannya di Piala Dunia 1938 di Perancis.
Sejumlah negara seperti Jepang, China, Hongkong, hingga dataran Korea pun bertekuk lutut oleh talenta Indonesia yang waktu itu masih memakai nama East Indies. Nusantara kemudian dapat unjuk gigi di pentas dunia, karena mampu menjadi pionir bagi Asia untuk mengenal sepak bola.
Pada 1940, Soeratin pindah ke kampung halamannya di Bandung dan jabatannya sebagai Ketua PSSI diambil alih oleh Artono Martosoewignyo. Ketika itu, kehidupan Soeratin menjadi serbasulit. Rumahnya sempat diobrak-abrik tentara Belanda, karena aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dianggap musuh oleh Belanda.