Ragam  

Pasarnya Tradisional, Manajemennya Modern

Oleh: Merry Basril, Caleg DPR RI Dapil Sumbar 2

Potensi ekonomi yang tak lekang oleh waktu adalah perdagangan. Mereka yang membuka toko kelontong, toko pakaian, toko beras, toko rempah dan banyak ragam lagi adalah pelakunya. Yang saya maksud di sini bukan perdagangan skala besar dam masif seperti yang dilakukan Alfamart ataupun jaringan bisnis Indomart.

Mahfum di daerah, pedagang akan berkumpul di satu daerah yang kemudian disebut pasar. Disanalah mereka yang melakukan aktivitas perdagangan itu berperan, memutar roda ekonomi. Mulai dari mereka yanh menjual sayur-mayur, hasil kebun seperti kelapa, cabai, bawang dan lainnya. Jangan harap, peritel besar seperti Alfamart atau Indomart melakukan peran tersebut.

Lantas apakah Negara hadir di sana? jawabannya tergantung kepentingannya. Melalui pemerintah, negara akan hadir untuk memungut retribusi dari pedagang. Imbal balik idealnya, retribusi digunakan untuk perbaikan sarana dan prasarana pasar. Namun banyak pula pemerintah yang kerjaannya mengambil tapi sedikit memberikan imbal hasil.

Jika ingin tahu detailnya, bisa melongok kebanyakan pasar di Sumatera Barat. Label pasar tradisional yang identik dengan becek agaknya sulit dijauhkan dari daerah ini. Kenapa? karena lazim kita lihat, pembangunan yang dilakukan di pasar cenderung top down. Bikin proyek, tanpa memikirkan bagaimana perawatan dan kelanjutan pengelolaannya.

Alhasil, sebagus apapun fasilitas yang dibikin, hasilnya waktu akan menggerusnya. Karena iuran dari pasar dijadikan sumber pendapatan semata. Kita bisa bercermin dari pengelolaan pasar modern, dimana iuran atau pungutan dijadikan sebagai modal untuk pengelolaan pasar, pengelolaan sampah, perawatan fasilitas pasar, parkir, sampai dengan mempromosi pasar itu sendiri dengan aneka media termasuk media digital.

Nah, inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah yang bisa memulai pembuatan konsep pengelolaan pasar tradisional yang modern. Tradisional itu hanya lokasinya, tapi modern pengelolaannya. Ini peluang yang belum diberdayakan pemerintah di daerah, khususnya di Agam. Kita tahu, Agam punya pusat perdagangan kuno bernama Balai Tiku, yang pernah menjadi incaran banyak negara Eropa.

Abad ke-15, Tiku sudah memiliki pasar dan menjalankan aktivitas bisnis dengan dunia luar. Tiku bahkan bisa dibilang lebih tua dari pemerintahan itu sendiri. Namun kini, pasar di Tiku tak banyak perubahan. Pasarnya masih becek, kumuh, tanpa parkir dan tanpa pengelolaan yang sesuai harapan.

Fakta ini juga banyak kita temukan di pasar tradisional lainnya di Sumatera Barat. Masalah sampah tergeletak dimana-mana, kendaraan parkir sembarangan, susunan lapak dan tenda tanpa aturan. Itu semua berawal dari minimnya pengetahuan untuk pengelolaan. Kondisinya makin sulit, saat masalah itu dibiarkan menahun, tanpa ada perhatian khusus akan pentinya pengelolaan.

Meski ada anggaran untuk pembangunan pasar, namun selama ini hanya digunakan untuk pembangun fisik seperti los, pengaspalan. Kenyataan pahit setelah itu, bangunan yang dibangun itu nyatanya banyam dibiarkan tanpa perawatan. Alhasil, bangunan itu uzur lebih cepat alias penuaan dini. Ibarat membangun generasi, yang dilakukan hanya pada jasmani saja tetapi tidak pada rohani. Sementara rohani adalah pemegang kendali dalam jasmani.

Ibarat mobil, jika infrastruktur pasar dipakai tanpa perawatan dan pengelolaan, maka mobil itu akan keropos sebelum waktunya. Dia akan turun mesin sebelum jadwalnya. Memakai kacamata umum, memang pasar radisional butuh revitalisasi, tetapi bukan hanya berbentuk pembangunan infrastrukturnya saja, jauh lebih penting membangun manajemen pengelolaannya.

Revitalisasi pasar harus dimulai dengan membangun sumber dayanya, mempersiapkan tata kelolanya, baru memperbaiki infrastrukturnya. Ibarat mobil lagi, persiapkan dulu sopirnya yang handal baru persiapkan kendaraannya. Jika sopir sembarangan, mobil bisa minim perawaya dan juga riskan kecelakaan.