Oleh : Yuniar
Berawal dari coba-coba, Santi Fitri dan Gusrianti, dua warga Kelurahan Teluk Kabung Utara, Kecamatan Teluk Kabung, Padang, Sumatra Barat kini menekuni profesi baru sebagai penjahit. Dibawah bendera d’kartinis yang dibina PT Pertamina Integrated Terminal (IT) Teluk Kabung, mereka terus “mengepak sayap” memajukan kelompok dan tentu juga mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menopang hidup dan kehidupan mereka.
Santi masih ingat, suatu hari pada tahun 2017, dia mendapatkan kabar dari saudaranya yang bekerja di kantor Kelurahan Teluk Kabung Utara tentang pelatihan menjahit yang diadakan PT Pertamina IT Teluk Kabung yang dulu dikenal dengan nama Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Teluk Kabung.
Santi memberanikan diri mendaftar dan turut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. “Pelatihan pertama pengenalan tentang mesin jahit,” katanya mengenang.
Hampir satu tahun, dia dan 14 rekannya belajar berbagai jenis pelatihan yang berkaitan dengan jahit menjahit. Semula selama enam bulan, kemudian vakum dan kembali dimulai hingga satu tahun lamanya.
“Jujur, awalnya saya cuma coba-coba untuk menambah keterampilan, karena memang tak ada aktivitas selain hanya fokus sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak dan suami,” kata perempuan dengan tiga anak itu.
Seiring berjalan waktu dan desakan ekonomi, langkah Santi memilih menjadi penjahit adalah keputusan yang tepat. Betapa tidak, suaminya yang hanya seorang nelayan yang bekerja di Kapal Bagan milik orang lain, kadang bisa membawa uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sekeluarga. Tapi, kadang tak ada uang yang bisa dipakai untuk membeli beras atau kebutuhan hidup lainnya, karena tak adanya hasil tangkapan.
Kini, bila suaminya tak memberi uang belanja kebutuhan rumah tangga karena tak mendapatkan ikan untuk dijual, maka Santi bisa memenuhinya dari uang hasil jahitannya.
“Di rumah, saya buat tabungan dari hasil jahitan. Jika suami tak ada uang untuk belanja kebutuhan kami, maka saya akan ambil uang di tabungan, tapi kalau dikasih uang, maka tabungannya tetap utuh,” ceritanya.
Rata-rata setiap hari dia mendapatkan upah sebesar Rp100.000 dari menjahit di rumahnya. Jumlah yang dinilai lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama suami dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil.
Tak berbeda dengan Santi, Gusrianti pun merasa bersyukur dengan keterlibatannya sebagai peserta program menjahit yang diberikan PT Pertamina. Bila Santi lebih fokus pada usaha menjahit seprai dan mukena, maka perempuan 47 tahun ini lebih banyak menerima orderan membuat baju.
“Alhamdulillah, saya bisa menuntaskan membuat satu stelan baju sehari dengan tidak meninggalkan pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga,” katanya sumringah.