PADANG-Memperingati hari Ulang Tahun ke-14, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) berbagi pengalaman meliput kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia. Pengalaman jurnalis ini penting menjadi masukan bagi pengambil kebijakan, bahwa Indonesia sudah darurat kekerasan seksual dengan banyaknya kasus yang tidak terselesaikan, minimnya keberpihakan aparat penegak hukum hingga belum adanya payung hukum yang berkeadilan kepada korban.
Berbagi pengalaman meliput kasus kekerasan seksual ini dilakukan jurnalis perempuan yang tergabung dalam FJPI se-Indonesia yakni Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim), Cornelia Mudumi (Inews Jayapura/FJPI Papua), Anik Mukholatin Hasanah (RRI Surabaya/FJPI Jatim), Diana Saragih (fjpindonesia.com/FJPI Sumut), Fitri Madia (IDNTimes/FJPI Jatim) dan Nurmala (Puja TV Aceh/FJPI Aceh).
Hadir juga sebagai penanggap dalam webinar ini Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), Diah Pitaloka (Anggota DPR RI/PDI Perjuangan), Desy Ratnasari (Anggota DPR RI/PAN), Kompol Ema Rahmawati, SIK (Tipidum Bareskrim Polri) dan Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak/ KemenPPPA).
Ketua FJPI, Uni Lubis dalam sambutannya membuka webinar menyebutkan, sharring pengalaman jurnalis perempuan meliput kasus kekerasan seksual ini diharapkan dapat menjadi pendorong untuk mengawal Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan, sebagai payung hukum yang berkeadilan kepada korban.
Apalagi mengingat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak setiap tahunnya terus meningkat.
“Kita tentu miris karena DPR belum jadi untuk meletakkan RUU TPKS ini sebagai usulan inisiatif DPR RI, padahal urgensinya sangat tinggi. Apalagi kasus kekerasan seksual sangat banyak, kalau dilihat dari laporan yang masuk ke Komnas Perempuan, setidaknya ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap hari atau bisa dikatakan dalam setiap dua jam ada 3 perempuan yang menjadi korban,” kata Uni, Sabtu (18/12).
Pengalaman miris dalam meliput kasus kekerasan seksual juga dialami jurnalis perempuan. Seperti pengalaman Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim) yang meliput kasus kekerasan pencabulan dan persetubuhan yang terjadi di pondok pesantren di Jombang tahun 2019, di mana pelaku dari kasus ini adalah putra Kyai dari pondok pesantren tersebut. Sebelumnya, tahun 2017, kasus ini sudah sempat SP3 namun karena kurang bukti akhirnya terhenti.
“Di sinilah pentingnya jurnalis perempuan yang punya empati untuk bisa melakukan peliputan dan mendukung korban untuk bersuara,” ujar Eka.
Lebih lanjut dikatakan Eka, menjadi jurnalis yang meliput kekerasan seksual ini juga cukup riskan, karena jurnalis perempuan harus mengetahui siapa pihak yang salah dan siapa yang benar. Jurnalis harus mencari data, melakukan investigasi dan menganalisis serta berkonsultasi dengan para pakar, sehingga tidak serta merta percaya dari keterangan terduga atau dari korban. Setelah diketahui secara detail peristiwa yang terjadi barulah keberpihakan kepada korban itu harus dilakukan oleh jurnalis.
“Keberpihakan jurnalis kepada korban itu perlu, apalagi korban tidak bisa membela dirinya,” terangnya.
Termasuk dalam upaya pelaku berkelit dari hukum, pendampingan informasi dari media menurut Eka sangat dibutuhkan korban. Apalagi dalam kasus ini sempat terjadi kejanggalan ketika pelimpahan berkas dari Polda Jatim ke Kejaksaan, pihak Kejaksaan menolak berkas tidak P21 karena tidak cukup bukti, dan pertengahan Desember pelaku melakukan pra peradilan, penyidik digugat oleh tersangka 100 juta. Banyak kasus yang terhenti di penyidik, karena tidak segera dilakukan penyidangan, sehingga muncul peluang terjadinya pra peradilan yang diajukan tersangka. Pra peradilan ini ujungnya menjadi subjektivitas hakim, agar status tersangka itu dapat dihapuskan, peluang korban untuk mendapatkan keadilan menjadi lebih panjang.
“Syukurnya, ketika itu banyak pihak yang mengawal kasus ini, termasuk intervensi media dalam penyebaran informasinya akhirnya permohonan tersangka ditolak dan dimenangkan oleh korban, tentu ini menjadi semangat baru dan peluang hukum untuk perjuangan dan keadilan bagi korban terbuka kembali,” paparnya.