JAKARTA – Sastrawan Akmal Nasery Basral meluncurkan novel terbaru berjudul Sabai 선우 (baca: Sabai Sunwoo) di bulan pertama tahun 2022. Novel ini adalah sekuel dari novel Dayon yang diluncurkan pada pertengahan tahun silam dan mendapat sambutan hangat dari para pecinta Sastra Indonesia.
“Dayon lebih dari sekadar novel lebih dari sekadar novel. Dia menggambarkan gejolak psikologis, sosiologis dan antropologis anak bangsa di tengah perubahan disruptif. Bacaan wajib yang reflektif dan kaya perspektif,” tulis Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, dalam testimoninya pada sampul novel.
Dayon mengisahkan kehidupan pemuda bernama Jems Boyon asal Kapau, Sumatra Barat, sejak lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak di kampung halamannya sebelum melanjutkan SMA di Bukittinggi dan kuliah perfilman di Jakarta untuk mengejar impian sebagai sutradara sebelum bertemu dengan seorang model peranakan Minang-Korea bernama Sabai Rangkayo Sunwoo, maka dalam Sabai 선우fokus kisah menyangkut kehidupan sang model yang lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak di Seoul, Korea Selatan, sebelum pindah ke Jakarta di pertengahan tahun 90-an.
Begitu pindah ke Jakarta—bersama sang ibunya yang berpisah dengan ayahnya, profesor ekonomi terkemuka yang kelak menjadi Duta Besar Korea Selatan di Swiss—Sabai tinggal di sebuah perkampungan padat penduduk di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Dari seorang ABG korban broken home, nasib Sabai berubah drastis ketika seorang pemandu bakat dari sebuah modeling agency mengorbitkannya sebagai wajah baru dalam dunia model Indonesia. Popularitasnya terus berkibar sehingga pada saat kawan seumurannya menghabiskan waktu di SMA, Sabai sudah menjadi model profesional yang bermukim di Singapura, menjalani dunia pendidikan melalui homeschooling.
Awalnya perjalanan kariernya berjalan mulus seperti direncanakan. Namun seiring berjalannya waktu, satu persatu masalah datang menghantam gadis muda itu. Mulai dari korban perundungan seksual, pembunuhan karakter dalam sengitnya kompetisi antarmodel, gaya hidup liberal yang permisif terhadap penyalahgunaan obat-obatan dan seks bebas, hingga terganggunya hubungan dengan orang tua serta tergerusnya keyakinan dan keimanan.
“Melalui Sabai saya ingin menggambarkan problem identitas yang banyak menggayuti generasi milenial yang sudah menjadi warga dunia dan global traveler dan gamang terhadap akar budaya mereka. Generasi milenial adalah mereka yang lahir antara 1981-1996 seperti rumusan Pew Research Center,” ujar Uda Akmal—nama panggilan akrab sang penulis.
“Novel ini laksana ruang negosiasi terhadap efek domino hallyu (gelombang Korea) karena mampu menyuarakan gesekan yang banyak hadir dalam keluarga multikultural Korea- Indonesia. Kekuatan yang tidak ditemukan dalam novel-novel Indonesia yang mengangkat isu tentang Korea.
Uda Akmal menyuguhkan bacaan yang menawan dan memperkaya wawasan,” ujar Eva Latifah, Ph.D, Kaprodi Program Magister Asia Timur FakuItas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan President of Global Korean Scholarship Alumni Indonesia.
Bagi Ifa Isfanyah, Sutradara Garuda di Dadaku dan Losmen Bu Broto yang pernah kuliah di Dongseo University Busan, kisah Sabai sangat memperkaya batin dan pengetahuan pembaca secara akrab.
“Sebagai pembuat film yang pernah tinggal di Korea Selatan, saya merasa sangat dekat dan terwakili dengan novel ini,” ungkapnya.
Apresiasi positif juga datang dari Prawindu Prima, seorang YouTuber Indonesia yang tinggal di Seoul dan menjalankan bisnis biro perjalanan Light & Bright.