Pantai Pangandaran, Minggu (19/6) pagi. Setiap sepuluh menit sekali, lewat pengeras suara, penjaga pantai memperingatkan pengunjung tidak berenang atau berada di pantai melampaui batas aman yang sudah dipasangi bendera. Jarak batas itu dengan tepian sekitar lima meter.
Pagi itu ketika berkunjung ke sana, laut sedang berombak tinggi. Riaknya menjulur sampai melampaui batas bendera. Bahkan sesekali lidahnya menjilati tepian pantai yang sedang ramai pengunjung. Seperti saya alami Sabtu (18/6) ketika hari pertama jogging di tepi pantai. Tetiba lidah ombak merendam sepatu dan celana sampai bagian lutut.
Ancaman Tsunami
Meski terancam hantaman bencana tsunami setinggi 20 meter (berdasar penelitian dari ITB belum lama ini) itu tidak menyurutkan nyali pengunjung. Pantai Pangandaran memang obyek wisata paling favorit yang terdapat di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pantai menjadi lokomotif kemajuan ekonomi masyarakat Pangandaran.
Sejak Februari, seiring dengan meredanya pandemi Covid-19, masyarakat pun mulai ramai mendatangi obyek wisata itu. Terutama pada hari Sabtu – Minggu atau libur nasional.
” Libur Lebaran kemarin pantai sudah ramai pengunjung,” cerita Sariyem (50) pedagang pecal di sana.
Akibat pandemi Covid-19, lebih dua tahun ibu tiga anak dan satu cucu itu stop berdagang. Pemerintah selain membatasi kegiatan masyarakat juga menutup pantai.
Sariyem tidak berhenti memanjatkan puji syukur begitu keadaan sudah membaik seperti sekarang. Yang membuatnya dapat kembali mencari nafkah dari pengunjung pantai. Di tepi pantai itu Sariyem berjualan pecal, kopi, kacang dan berbagai jenis minuman ringan. Sebelum pandemi omsetnya sekitar Rp. 300 -Rp 500 ribu dari berjualan sejak pagi hingga petang.
Pagi itu Sariyem tetap memakai masker, meski alat pelindung tersebut hanya menempel di dagunya. Memang tidak terdengar lagi pengumuman penjaga pantai memperingatkan pengunjung kewajiban memakai masker. Beda dengan dulu, pengunjung yang kedapatan tidak pakai masker dihukum “push up”.
” Sekarang tidak wajib lagi, ” kata pedagang pecal asal Jawa Tengah itu.
Sariyem benar. Tidak hanya di kawasan pantai, di tempat -tempat umum lainnya pun demikian. Waktu Salat Jumat di sebuah masjid di Pangandaran, rasanya hanya saya yang mengenakan alat pelindung serangan virus itu.
Kenangan 50 tahun lalu