Beberapa hari lalu, saya mendapati berita yang dikirim oleh anggota Grup Whatsapp tentang pembatalan proyek Fly Over Sitinjau Lauik. Ingatan saya langsung melayang ke momen politik sekitar setahunan lalu. Ketika itu, seorang wakil gubernur baru Sumatera Barat, yang dipuja-puji oleh umat politiknya sebagai Wagub Milenial kelas atas, melakukan “show off” politik.
Segala koneksi politik kepartaian yang terkait dengan Sang Wagub di pusat dikerahkan turun ke Sumbar. Entah sekedar “gegayaan politik” layaknya seorang preman yang sedang memperlihatkan “backing” elitnya atau memang bagian dari upaya untuk memajukan Sumbar dengan menghadirkan proyek mercusuar, hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang mengetahuinya. Yang jelas kala itu, rencana proyek Fly Over Sitinjau Lauik lahir ke muka bumi Minangkabau. Ya, lahir begitu saja. Dalam bahasa seberangnya, “just like that.”
Layaknya Ibukota Baru Jokowi yang absen di dalam kampanye-kampanyenya, begitu pula cerita awal proyek Fly Over yang gagal tersebut. Rencananya “tumpah” begitu saja ke muka bumi tanpa aba-aba. Tapi Sumbar sumbringahnya tak ketulungan. Memang mayoritas dari kita senang ditiban janji manis, enggan dihampiri kecewa saat didustai. Ingatan pada proyek Kelok Sembilan tak pelak ikut muncul. Bayang-bayang proyek ikonik yang akan menambah simbol baru Sumatera Barat mulai menggantung diingatan publik. Betapa senang hati kita dapat bonus seperti itu toh. Boleh jadi kata sebagian pemilih, “tak menyesal saya memilih bapak!”
Namun tak butuh waktu lama, rencana itu berubah menjadi mimpi di siang bolong, tak sampai satu periode kepemimpinan Sumbar. Tak ada proyek Fly Over Sitinjau Lauik. Beberapa judul berita menyematkan kata “gagal,” beberapa lagi menggunakan kata “ditolak oleh pusat. ” Gantinya hanya pelebaran jalan. Pemerintah pusat menolak konon karena biayanya terlalu tambun. Ya, ajuan nilai proyek 4 triliun memang terdengar terlalu berlebihan bagi sebuah provinsi yang nilai APBD-nya sedikit di atas itu. Dan bahkan sangat besar untuk sebuah provinsi yang secara politik sering dianggap berseberangan jalan dengan penguasa pusat.
Apalagi, angka 4 triliun dibandrol untuk sebuah proyek publik yang tidak memiliki hitung-hitungan bisnis alias hanya membelanjakan uang negara begitu saja, lalu mendoakan orang-orang yang memperjuangkannya masuk surga (ibarat mendoakan mereka cepat meninggal), dan berharap multiplayer effectnya saja di kemudian hari. Tentu akan berbeda ceritanya jika Fly Over Sitinjau Lauik ditawarkan sebagai investasi Public Private Patnership, dengan segala rencana bisnis kemitraan yang akan dibangun di atasnya, termasuk kawasan wisata mini terintegrasi di atasnya, misalnya.
Dengan begitu, dana yang harus dikeluarkan pusat memiliki prospek pengembalian di masa-masa mendatang dengan jumlah yang juga tidak sebesar ajuan awal. Apalagi, Proyek Fly Over akan sedikit lebih mudah dibanding jalan tol yang harus berurusan dengan banyak pemilik lahan. Tapi sebagaimana harapan publik yang sudah mencantelkan referensi mimpinya ke Kelok Sembilan, inisiatorpun demikian. Proposal bulat-bulat diajukan sebagai proyek publik yang tidak membutuhkan putar-putar isi kepala tentang bagaimana pengembalian dananya di kemudian hari.
Dalam kondisi fiskal nasional seperti saat ini, bercampur dengan ancaman pelemahan mata uang dan resesi dunia, nilai 4 triliun untuk satu proyek ikonik tentu terasa berlebih. Toh terbukti kemudian, meskipun Kepala Bappenasnya adalah elit kelas satu di dalam partai di mana sang Wagub juga tercatat sebagai anggota utamanya, proposal tetap tak berbuah persetujuan. Bukankah lebih baik Fly Over seindah itu dibangun di kawasan Ibukota Baru? Boleh jadi begitu isi kepala orang-orang di pusat toh
Tapi sebagai pertanggungjawaban politik, tentu boleh kita meminta dengan segala hormat kepada sosok yang mengawali lahirnya “harapan manis” tersebut. Meski tidak menjadi bahan kampanye tempo hari, tapi nyatanya sudah menjadi janji politik simbolik kepada publik Sumbar yang dibungkus “show off” politik kala itu. Ucapkanlah beberapa kata minta maaf atas “gagalnya” lobby-lobby pihak terkait ke pusat karena satu dan lain hal, atau boleh jadi satu kata minta maaf dan dua ribu kata janji baru untuk Sitinjau Lauik di kemudian hari. Namanya politik toh. Menutup kegagalan janji lama dengan janji baru memang sudah biasa. Biar lega pula hati orang-orang di beberapa Grub WA, yang tak pernah bosan membahas yang sudah tidak mungkin diraih. Bukan begitu, Pak Wagub Millenial?