257 Kasus Pidana Sumbar Bisa Selesai Melalui Restorative Justice

Kapolda Sumbar

PADANG – Kepolisian Daerah Sumatera Barat mencatat 257 kasus pidana di Sumatera Barat sepanjang 2022 ini dapat diselesaikan melalui restorative justice atau mengedepankan dialog atau mediasi dalam menyelesaikan kasus hukum yang terjadi di provinsi itu.

“Dari total 2.257 kasus yang terjadi 2022, 257 kasus dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat,” kata Kepala Polda Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Polisi Teddy Minahasa Putra, saat fokus grup terpumpun tentang restorative justice di Padang, Selasa

Sementara itu sepanjang 2021 dari 1.011 kasus diselesaikan dengan restorative justice dari 5.585 kasus yang terjadi di Sumatera Barat.

Ia menilai ada beberapa manfaat yang diperoleh dalam restorative justice ini, pertama pertentangan sosial antara masyarakat dapat direduksi dengan menonjolkan asas musyawarah dan mufakat. “Hal ini juga berdampak terhadap kemudian efisiensi anggaran negara,” katanya.

Ia menjelaskan terkait efisiensi anggaran ini harus diakui proses peradilan masih berbelit-belit.

“Di internal kita saja ada proses penyelidikan, penyidikan hingga peradilan, itu memakan waktu yang panjang,” kata dia.

Ia mengatakan sudah banyak contohnya di Satreskrim, Ditreskrimum, dan Ditreskrimsus terkait restorative justice itu kecuali pada kasus korupsi, terorisme, makar dan narkoba.

Selain itu dia menjelaskan fokus grup terpumpun ini digelar dalam rangka menyusun tindak lanjut perjanjian kerjasama pada Maret lalu dengan LKAAM Sumatera Barat.

Terkait penanganan kasus hukum di luar peradilan, artinya non vokasi itu bisa diselesaikan dengan restorative justice.

Menurut dia, hal itu selaras dengan apa yang tertuang dalam Peraturan Kepolisian tentang restorative justice dan rencananya pada 7 Juli nanti pada saat puncak HUT Bhayangkara akan dilakukan perjanjian kerja sama, turunannya.

Mekanisme sebelum penandatanganan perjanjian kerja sama adalah FGD, meminta masukan para pihak pakar, masyarakat, tokoh untuk melengkapi draft dari perjanjian kerja sama tersebut.

“Hal tersebut bertujuan penyelesaian sengketa-sengketa hukum di internal masyarakat tidak harus semuanya diselesaikan secara proses peradilan,” kata dia.(109)