PADANG-Juni Harmanedi, salah seorang perantau Minang di Wamena yang dikontak Singgalang, Selasa, kemarin, menyebutkan, suasana masih mencekam. Rasa takut itu masih bersemayam di dada.
“Terutama untuk para pendatang, kegelisahan kami masih menumpuk. Kendatipun kini sudah berada di pengungsian. Kami diungsikan di Kantor Kodim setempat,” sebut Harmanedi, perantau asal Bayang, Pesisir Selatan tersebut.
Dia tak bisa membayangkan, saat tumpah darah itu terjadi. Kios (kedai) mereka bakar. Mereka dalam sekejap, mengayunkan senjata tajam. Melepas panah dari busurnya. “Para perantau nak rang Pasisia itu pun jadi korban. Dan, banyak lagi korban yang lain, umumnya para pendatang,” katanya.
Saat ditanya penyebab kejadian peristiwa tragis itu, dia tak membeberkannya lebih kanjut. Yang jelas, katanya, kini masih serba sulit. Sanak keluarga menelpon, tapi terputus-putus. Sulit berkomunikasi.
“Saya sendiri kemarin, minta isikan pulsa pada adik saya yang di Padang. Ingin isi pulsa, tak ada lagi kios yang buka,” ucap Harmanedi.
Dia minta doa dari kampung, semoga kejadian pilu itu cepat berlalu. “Dan, kami anak rantau pun bisa bakureh kembali,” sebutnya.
Dalam kerusuhan itu demonstran bersikap anarkistis hingga membakar rumah warga, kantor pemerintah, PLN, dan beberapa kios masyarakat.
Unjuk rasa yang berujung kerusuhan itu diduga dipicu oleh perkataan bernada rasial seorang guru terhadap siswanya di Wamena.
Hal itu membuat siswa marah hingga kemudian kabar itu meluas dan memicu aksi unjuk rasa pelajar di Kota Wamena. Aparat kepolisian dan TNI berusaha memukul mundur siswa demonstran.
Hal itu berlangsung sekitar 4 jam. Namun, siswa demonstran tetap bertahan dan semakin membuat kerusuhan. (nal)