Tukang cukur di desa saya sibuk, sama sibuknya dengan tukang jahit. Saya berada dalam antrean untuk dipermak, biar rambut tampil coga saat lebaran. Upahnya Rp25.
Kami anak-anak punya jadwal sendiri di luar jadwal orang dewasa. Pertama potong rambut, sembari menunggu jahitan selesai, kadang sehari sebelum lebaran baru siap.
Di rumah, Umi saya sudah berusaha sekuat tenaga agar ada hidangan. Yang wajib, gulai ayam, makanan enak sekali setahun. Goreng ikan dan belut. Ikan, dibeli sehari sebelumnya, sebab warga desa yang punya tabek alias kolam ikan, panen. Ayah memberi uang untuk beli serenjeng ikan. Selain itu wajib ada kue loyang dan gelamai. Ini semua akan habis oleh kami adik-beradik, kecuali randang. Lama tahannya.
Lebaran yang serempak benar-benar syahdu. Waktu itu, saya tak kenal Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Kami semua menunggu siaran televisi. Saya tak tahu, untuk apa diumumkan, sebab rakyat sudah tahu, besok lebaran.
Sepanjang ingatan, hari raya serempak, tak pernah bertikai. Sehari dua hari terakhir Ramadhan, rumah-rumah dibersihkan, masjid juga. Di masjid ramai pemuda bergoro. Dan bila malam tiba, ulama kami diarak bersama warga naik bus atau truk untuk takbir keluar desa, lalu berputar di ibukota kabupaten. Desa saya Supayang, kota kami, Batusangkar. Kecil tapi baik pada warganya.
Ketika lebaran sudah tiba, paginya kami mandi. Pincuran ramai sekali. Sehabis itulah semua anak memakai baju baru dan rambut yang klimis karena pakai minyak tancho. Kami anak-anak ke masjid untuk ikut Shalat Ied. Sehabis itu, semua jemaah meyalami imam.
Tak pernah ada cerita lebaran kembar, seperti juga yang ditulis oleh Prof. Nurhayati Rahman Matammeng dari Makassar di FB nya, yang kemudian dibagi oleh Dr Suryadi ke WAGTOP 100 Padang.
Yang ditulis profesor itu membangkitkan kenangan masa kecil saya. Hidup di desa kecil kaki gunung, lebaran itulah hari paling hebat dan menyenangkan kami. Sebuah perayaan kolosal sejak masa kecil. Bahkan, benar kata profesor Nurhayati, kami kanak-kanak menghitung hari, tinggal berapa lama lagi lebaran. Tatkala tiba, seharian kami singgah dari rumah ke rumah di desa. Setelah remaja Ramadhan dan lebaran makin hebat terasa, sebab kami menggelar sadiwara 3 malam.
Ramadhan sendiri pun kami hitung. Bicara soal payahnya puasa, malam Laitatul Qadar yang kami rondai. Semua menyatu jadi kenangan. Saya tak tahu bagaimana kenangan anak sekarang yang lebarannya di hari berbeda padahal satu negara. Di Saudi lebarannya Jumat maka semua rakyat Jumat. Di UEA Sabtu, semua rakyat Sabtu. Di sini “perbedaan itu rahmat” sudah jadi templet agar rakyat jangan banyak cakap. Satu negara dua hari raya
Tak ada yang peduli kehangatan di dada waktu lebaran itu, terenggutkan. Atau itu asumsi saya saja. Asumsi biasanya sangat mungkin salah, tapi bisa benar. ***