Buku dan peta bisa dibaca, tapi pengalaman tidak. Kebudayaan, kebebasan, kemanusiaan, lebih banyak di luar buku. Kekuasaan dan negara sering lupa akan hal itu. Inilah yang mungkin jadi sebab kenapa tradisi intelektual kehabisan baterai.
Uang telah membuat gairah dan “menumbuhkan” egoisme kekuasaan. Ketika itu pulalah, tidak ada lagi gairah membicarakan buku baru, novel baru, karya-karya anak muda dibiarkan lewat begitu saja. Tak terdengar perdebatan sengit tentang satu ide humanis dan kebangsaan. Yang ada: emak-emak tersungkur di kaki mimbar masjid lalu terpesona. Ulama-ulama muda melaju dengan biduknya masing-masing ke laut ilmu tanpa membawa pena. Orang asyik bicara siapa pemimpin kita setelah ini. Si A tak alim si B alim dan si C pintar serta bijaksana.
Anak mudanya hampir semua memburu kerja, dilepas dari rumah dengan doa. Pulang masih dengan tangan hampa.
Penghormatan pada kekayaan intelektual menurun tajam. Pada kebudayaan, pada karya-karya, pada sisi-sisi humaniora, pada karya-karya tulis, pada kitab-kita ulama kian hari kian habis. Surau telah pindah ke youtube.
Ini seperti terlupakan karena semua bupati, walikota dan gubernur serta semua jajarannya, bak guru dalam kelas. Sibuk memenuhi kehendak kurikulum. Khalayak ramai, terjebak dalam politik praktis, suka tidak suka. Dukung atau bully. Mereka yang peduli terjebak pula dalam kerangkeng “uang.” Ia bekerja cari uang untuk siklus ekonomi yang pendek.
Tak banyak yang suka jika disebut, tradisi intelektual di Minangkabau dibangun melalui surau, madrasah dan sekolah-sekolah yang dibangun di zaman Belanda. “Romantisme masa lalu,” katanya. Tapi sekolah hari ini, melahirkan lulusan sarjana kertas. Orang tua menjahit sayap anaknya dan seringkali menukar kepala anak dengan kepalanya. Sekolah merampas waktu bermain anak. Tak di sini saja tapi di seluruh negeri, tapi Mianang ikut terlena. Lalu membiarkan baterai mesin intelektualnya soak.
Sebentar lagi, anak muda hanya dimanfaatkan sebagai pemilih pemula. Mereka dan kita semuatelah diculik oleh dunia digital mirip penculikan oleh orang bunian. Dibawa ke pesta yang mewah. Ketika ditemukan oleh warga desa, ternyata Anda pingsan dalam rimba setelah berjalan berjam-jam di tengah malam yang dingin.
Tatkala tak ada lagi di kawasan lain “si bunian politik,” di Sumbar masih terus bergerilya. Mencari korban dan korbannya menerkam korban lainnya.
Ranah Minang sedang diculik dan semua mengaku tidak diculik. Ranah Minang, negeri tak bergajah ini, yang sungainya pendek-pendek ini. Yang airnya deras, sederas emosi itu, merasa kisah hebat masa lalu, justru sedang terjadi.
Ini bukan soal kehebatan, tapi bagaimana memandang masa depan dengan betarai soak. Hampir-hampir tidak ada tawaran hebat dari semua pemimpin di sini, formal atau non formal, pendidik, guru besar atau pemuka agama: “Ini mesti dilakukan dan ikuti kami. Kami di depan, Anda di belakang.”
Masa depan Sumbar bukan pada saya dan Anda semua, kecuali Anda anak muda. Anak muda ditunggu suaramu: Kami anak muda dan kami akan mengguncang kampung kita.
Anak muda, untuk Anda ketahui sebuah kisah naif: di kampung kita ini ada yang berkata, infra struktur tak bisa ditanak. Tapi, orang-orang itu tak menyumbang ide juga, bagaimana dapur rakyat bisa berasap.
Mungkin kita tak bisa lagi berharap pada para pemimpin yang ada sekarang, lagak saja, atau saya yang sok hebat menuliskan hal ini.
Tapi apapun, Tuhan jangan pindahkan gunung, beri kami waktu untuk mendakinya. *