Berdasarkan UU No. 40 1999, pers nasional mempunyai peranan atau kewajiban memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi. Pers juga berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi. Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
Sedangkan apa yang disebut dengan politik praktis, perdefinisi adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dalam pemerintahan serta kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum yang dilaksanakan di lapangan atau kehidupan bernegara.
Tema diskusi “Jurnalis & Politik Praktis” yang diselenggarakan Forum Pemred ini bisa langsung kita hadapkan pada salah satu agenda akbar politik praktis di Indonesia, yang sudah di depan mata. Yaitu penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak pada 2024.
Pesta beromzet Rp. 1100 T
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 berbarengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI. Sementara, Pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota diselenggarakan serentak di seluruh daerah pada 27 November 2024.
Seluruhnya 271 kepala daerah. Rinciannya, 101 daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2022, ( 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota ) yang ditunda tahun itu kemudian digabung dengan 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023.
Sebanyak 271 penjabat (Pj) atau pejabat sementara (Pjs) telah menggantikan posisi kepala daerah hingga penyelenggaraan Pilkada 2024 tanpa legitimasi Pemilu. Menikmati kekuasaan tanpa persetujuan rakyat secara langsung, sebagaimana menjadi prinsip demokrasi yang kita anut.
Pemilu 2024 luar biasa godaannya. Menuntut pengawasan ekstra ketat masyarakat dan pers. Bayangkan! Pemilu serentak ini pertama kali terjadi dalam sejarah Pemilu. Biaya resmi (APBN) hampir empat kali lipat dibandingkan Pemilu 2019 yang menelan biaya Rp 25 T. Menurut data “Nagara Institute”, sejak reformasi biaya Pemilu konsisten terus mengalami kenaikan. Pemilu 1999 berbiaya Rp.1,3 T, 2004 (Rp.4,45 T), 2009 (8,5 T), 2014 (15,62 T), dan 2019 (25,59 T).
Perputaran uang besar akan terjadi mengingat seluruh peserta Pemilu juga akan membelanjakan uangnya untuk “membeli tiket” dan kebutuhan pelbagai hal lainnya untuk mendapatkan kedudukan. Seperti biaya kampanye / sosialisasi untuk menarik simpati rakyat pemilih. Diprediksi total belanja sebesar Rp. 1000 T. Setara dengan 30 % APBN 2022 atau lebih besar dari alokasi anggaran pembangunan dalam APBN 2022. Jika lebih dirinci lagi, sekitar 2 x biaya IKN.
Dengan omzet begitu besar, tak heran Pemilu belakangan memang menjelma menjadi industri raksasa setiap lima tahun sekali. Pesonanya luar biasa. Menyilaukan. Pemilu seperti mesin penyedot debu raksasa. Menyedot bukan hanya pihak yang berkepentingan langsung dengan demokrasi. Mesin itu menyedot juga banyak keahlian yang lahir belakangan, seperti konsultan politik, surveyor, influencer, buzzer, dan tak lupa para petualang pemburu rente semata.
Bagaimana pers memposisikan dirinya secara tepat? Sesuai amanah profesi dan amanah bangsa sebagaimana diamanatkan dalam UU Pers 40/99.
Dalam pengalaman penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air sebelumnya, pesta demokrasi itu merupakan momentum panen raya bagi banyak pihak. Perusahaan Media pers juga kecipratan rezeki melalui pemasangan iklan dari Pemilu itu. Sejak dulu. Jauh sebelum disrupsi informasi terjadi. Jauh sebelum kelahiran media-media baru, media digital dan sosial media.
Terus terang, itu yang menjadi salah satu penyebab mengapa sejak lama kita mengkhawatirkan jurnalis atau pengelola media pers jika terlibat di dalamnya sebagai pemain. Sulit bisa optimal melaksanakan kewajibannya memenuhi hak publik untuk mengetahui termasuk sengkarut yang mewarnai perjalanan Pemilu. Apalagi membuktikan dugaan kecurangan yang menjadi stigma Pemilu lalu.