Oleh Fadhila Qisthi Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas
Hukum merupakan dasar penting konkret yang sangat berpengaruh bagi kehidupan dalam bernegara di Indonesia. Hukum menjadi landasan dalam penyelesaian segala permasalahan yang menyangkut pelanggaran aturan dan norma mulai dari lini terkecil dalam bermasyarakat sampai ke dalam kehidupan bernegara.
Jika membicarakan tentang hukum banyak komponen didalam nya yang berhubungan dan saling berkaitan mulai dari sistem hukum di Indonesia sendiri, Tujuan dan fungsi dari adanya hukum, norma-norma yang berlaku didalamnya, sumber hukum Indonesia, hingga sistem peradilan terhadap kasus hukum yang terjadi di Indonesia
Berkaca dari kasus kasus hukum yang terjadi di indonesia dari zaman ke zaman, tentunya diperlukan peradilan hukum yang kokoh, kuat serta adil dalam memutuskan segala perkara yang melanggar hukum di Indonesia.
Tentunya sebagai negara hukum, Indonesia menjamin warga negara nya untuk mendapatkan keadilan. Sesuai dengan hukum yang berlaku, melalui kekuasaan kehakiman dengan perantara peradilan. Sebagaimana yang terdapat dalam UUD Negara Republik indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik indonesia tahun 1945 ini kemudian diturunkan pula UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Dengan adanya peradilan hukum di Indonesia pasti juga membutuhkan peran penting lembaga Peradilan sendiri untuk mengawasi proses pelaksanaan dari kaidah hukum dan menjadi wahana serta media bagi masyarakat dalam mencari keadilan untuk mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Di Indonesia kekuasaan peradilan tertinggi berada di tangan Mahkamah Agung yang menjadi pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan badan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya bebas dari intervensi sesuai yang tertuang pada pasal 24 A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian Mahkamah Agung juga membawahi beberapa badan peradilan seperti peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi.
Lembaga-lembaga tersebut tentunya memiliki peran penting dalam penegakkan keadilan dan berhak terbebas dari segala intervensi maupun tekanan serta campur tangan dari lembaga lain yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif
peradilan hukum di Indonesia sendiri tidak serta merta hanya menyangkut terpidana diatas umur 17 tahun yang artinya sudah diakui legal secara hukum dan negara. Anak di bawah umur pun yang status nya masih pasif secara hukum juga dapat terpidana terkait permasalahan hukum yang dilakukan nya. Hal ini tentunya bersikap kompleks dan krusial mengingat status anak yang masih di lindungi oleh undang-undang perlindungan anak, termasuk undang-undang sistem peradilan pidana anak (UU SPA).
Dalam hal ini kita dapat mengambil satu contoh kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang anak (AG) berumur 15 tahun yang melakukan penganiayaan terhadap korban (D) yang berusia 17 tahun. Yang mana pada awal mulanya (AG) sendiri ditetapkan sebagai saksi (anak yang berhadapan dengan hukum) lalu kemudian berubah status nya menjadi pelaku (anak yang berkonflik dengan hukum) karena terbukti melakukan penganiayaan berat dan juga sudah direncanakan sebelumnya. (AG) Juga dinilai terlibat aktif dalam merencanakan penganiayaan itu dan terbukti mengelabui korban (D) Untuk mau menemuinya.
Akibatnya dari kasus penganiayaan ini korban (D) mengalami kerusakan otak berat , dan hal inilah yang memberatkan bagi pelaku (AG). Sehingga Hakim memutuskan bahwa (AG) harus menjalani masa tahanan di lembaga Pembinaan khusus anak (LPKA). Jaksa Penuntut umum menuntut AG(15) dengan kurungan masa penjara selama 4 tahun dan didakwa pasal 355 ayat 1 kitab undang-undang Hukum pidana (KUHP) mengenai penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dulu.
Ancaman hukuman yang sejatinya diterima oleh (AG) Yakni mencapai 12 tahun kurungan penjara tetapi mengingat status (AG) yang masih dibawah umur, masa tahanannya dipotong setengah dari hukuman sebelumnya yaitu menjadi 4 tahun hukuman penjara. Pihak kepolisian pun menjamin bahwa (AG) akan mendapat perlakuan khusus sesuai peraturan yang ada.
Dari kasus yang diangkat tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga peradilan di Indonesia memiliki peran penting dalam mengusut dan menuntaskan kasus yang melibatkan anak di bawah umur, dimana dibutuhkan peran kompleks dari berbagai lembaga baik itu penyidik anak, hakim anak, penuntut umum yang mana pada kasus ini penuntut umum anak dan juga peran penting lembaga KPAI.
Peran lembaga Peradilan dalam proses penyidikan dan penuntutan terhadap perkara anak yakni penyidik wajib meminta pertimbangan maupun saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan dan diadukan. Kemudian balai penelitian kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakat paling lama 3 hari sejak permintaan penyidik.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan. Selanjutnya terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan diversi yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara di luar proses peradilan sehingga mencapai kesepakatan perdamaian. Jika dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti proses pemeriksaan dan mengusut tuntas kasus sampai putusan akhir hakim. Perlu digaris bawahi dalam hal ini peran sistem peradilan anak harus mengutamakan penanganan perkara anak yang mengedepankan keadilan restoratif. (***)