Indonesia Cemas 2045 kata netizen. Ini tekait Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi. UKT mahal. Kata pejabat Kementerian Pendidikan, kuliah tidak wajib, hanya tersier. Jaka sembung benar, nga nyambung. Mau primer, sekunder, tersiar atau saluran cacing, negara harus hadir.
Adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D., yang menyatakan “kuliah tidak wajib,” dan semua orang sudah tahu akan hal itu sebelum profesor ini bicara.
Dulu juga tidak wajib dan agak mahal. Sekarang tidak wajib dan sangat mahal bagi rakyat Indonesia. Menakutkan. Makanya netizen menyebut,” Indonesia Cemas 2045.”
Masalah muncul ketika muncul PTN Badan Hukum (PTN BH) otonom. Boleh cari uang sendiri. Antara lain, dengan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Jalur UKT agak murah, sempit tak semua calon bisa diterima. Pemasukan juga dari hal lain, misal PTN membuat hotel.
Tentu saja UKT tinggi dirasakan berat oleh mahasiswa karena Indonesia negara miskin. Status semacam ini memerlukan biaya sekolah dan kuliah murah. Lama kelamaan banyak anak muda yang tamat kuliah dan persepsi terhadap kehidupan dan pekerjaan berubah. Sekarang, pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Gen Z kata sebuah penelitian: kerja tidak sekolah tidak jumlahnya 10 juta. Menaker menyebut angka pengangguran 7,2 juta jiwa. Tapi semua pakai motor. Di indonesia jumlahnya 100 juta unit dan masing-masing pakai hp.
Pernyataan kuliah tidak wajib dan hanya tertier dalam polemik UKT tinggi menjadi tidak nyambung dan salah tangkap. Bukan berarti mentang-mentang tidak wajib lalu boleh semahal-mahalnya?
Tidak masalah juga asal dunia kerja menerima pelamar Tamatan SMA saja, seperti syarat untuk jadi pejabat negara. Selain kuliah tidak penting, penguasaan bahasa asing semestinya juga tidak penting. Dan, sebaiknya PTN yang ada setengahnya ditutup saja. Jadi tidak dibuka lagi kesempatan bagi bagian besar rakyat untuk kuliah. Maka jadi lengkap syarat Indonesia Cemas 2045.
Apalagi kemudian di bidang lain, wartawan dilarang menyiarkan investigasi, judi online marak, omsetnya di Indonesia 327 triliun/ tahun. Belum lagi pinjol yang jumlahnya hari ini mendekati Rp 2 triliun melilit leher.
Ditambah susah hidup, banyak tukang palak. Bahkan kang parkir pun sudah meresahkan di bebebrapa kota. Tapi, kafe kian banyak dan semua menu berbahasa Inggis, lalu kalau mau pesan ditanya dulu dalam Bahasa Indonesia dan dijelaskan dalam bahasa yang sama. Hebat memang.
Netizen kita memang spontan dan sering ada benarnya. ***