Padang Panjang—Dalam sidang lanjutan kasus pemalsuan tanda tangan dengan terdakwa Gema Yudha Dt. Maraalam di Pengadilan Negeri Padang Panjang, Senin (30/9). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga orang dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Padang Panjang sebagai saksi.
Mereka adalah Nasri, Kasi Pendaftaran dan Penetapan Hak Atas Tanah, Rahayu Eka Putri, dan Angga Alfida. Persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Agung Wicaksono bersama dua hakim anggota, Rahmanto Arttahyat dan Gustia Wulandari, berhasil mengungkap sejumlah fakta baru terkait dugaan permainan di BPN.
Dalam persidangan, Nasri menjelaskan penerbitan sertifikat tanah tanpa akta jual beli (AJB) bisa dilakukan berdasarkan aturan PP No. 24 Tahun 1997, Pasal 24 ayat 1F, terutama untuk transaksi yang terjadi sebelum tahun 1997. Namun, pernyataan Nasri menimbulkan banyak pertanyaan dari majelis hakim dan JPU karena adanya inkonsistensi dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Hakim Ketua Agung Wicaksono dan Hakim Anggota Gustia Wulandari mencurigai adanya pelanggaran prosedur dalam penerbitan sertifikat tanah tersebut, terutama karena sertifikat tetap diterbitkan meski ada permohonan pemblokiran dari pihak lain.
Nasri mengaku tidak melakukan verifikasi atas permohonan pemblokiran tersebut, yang kemudian menjadi sorotan hakim.
“Saya capek lo mafia tanah ini. Sudah banyak sekali saya menyidangkan perkara ini,” kata Hakim Ketua Agung.
JPU Andrile Firsa turut mempertanyakan keaslian dokumen pemblokiran dan pengakuan jual beli, serta dugaan permainan di balik penerbitan sertifikat tersebut.
Firsa juga menanyakan kepada saksi, siapa yang bertugas mengecek tiga dokumen, yakni permohonan blokir dan pencabutannya, serta pengakuan jual beli. “Andre Irsandi, pak,” jawab Nasri.
“Ada tidak Angga dan buk Ayu melakukan pengecekan,” tanya Firsa. “Ayu tidak, Angga mungkin ada, karena dia petugas ukur di lapangan,” jawab Nasri.
Firsa juga menanyakan, permohonan sertifikat pada tahun 1997 tahun kebawah, apakah memakai peraturan PP nomor 24 tahun 1997, pasal 24 ayat1 ini?. “Iya pak,” jawab Nasri.
Firsa juga menanyakan, dua sertifikat yang menjadi barang bukti dalam perkara ini, seakan akan transaksi di tahun 1995 dan 1997, sementara transaksinya di 2021 dan 2022. Kalau berdasarkan aturan tersebut, bisa dilakukan jual beli, tanpa PPAT.
“Apakah saudara cek transaksi ini, karena ini menyangkut penerimaan negara. Ada keanehan transaksi di sini,” kata Firsa.