Padang – Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro (PLTPH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Sumatera Barat (Sumbar) sangat besar, dengan banyaknya sungai-sungai kecil sebagai pendukung utama. Menurut Dosen Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknik Industri (STTIND) Padang, Prof.Asep Neris Bachtiar, PLTPH dan PLTMH, menggunakan tenaga air sebagai penggerak, seperti air terjun alam, sungai, atau saluran irigasi.
PLTPH dan PLTMH dapat menjadi solusi yang hemat biaya untuk memasok listrik ke komunitas kecil dan terpencil. PLTPH dan PLTMH dapat digunakan untuk menyalakan satu atau dua lampu neon dan TV atau radio di sekitar 50 rumah.
“Komponen utama PLTPH dan PLTMH terdiri dari air, sebagai sumber energi, turbin, untuk mengubah energi potensial air menjadi energi mekanik, dan generator, untuk mengubah energi gerak (mekanik) menjadi energi listrik,” katanya kepada topsatu.com, Selasa (29/10/2024).
Ia mengatakan, PLTPH dan PLTMH dapat diterapkan di daerah-daerah tertinggal dan terpencil, saluran irigasi dengan head yang rendah, dan sungai-sungai dengan aliran yang datar. Jika di malam hari bisa digunakan untuk penerangan, di siang hari bisa digunakan masyarakat untuk mengoperasikan mesin penumbuk padi, penumbuk tepung, kopi atau lainnya.
“Dulu ada sekitar 70 piko dan mikrohidro di Sumbar. Itu saya dan teman-teman yang turun tangan langsung memasangnya. Sayangnya seiring dengan masuknya listrik PLN ke daerah tersebut, masyarakat di sana jadi malas dan malah mengabaikannya sehingga akhirnya rusak,” ungkapnya.
Padahal menurutnya, piko dan mikrohidro bisa bersinergi dengan listrik PLN. Listrik PLN bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, maka listrik yang dihasilkan piko dan mikrohidro bisa digunakan untuk industri.
Piko dan mikrohidro merupakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang minim polusi. Maka dari itu, keberadaannya harus dipertahankan agar potensinya tidak terbuang sia-sia.
“PLTPH dan PLTMH adalah pembangkit listrik tenaga air yang menghasilkan daya listrik kurang dari 5 kW,” tuturnya.
Menurut data Dinas Pertanian Rakyat Sumbar, pada tahun 1974 di Sumbar terdapat 4.082 unit kincir air penumbuk padi. Pada tahun 1979 jumlahnya menurun menjadi 1619 unit dan pada akhir tahun 1986 hanya tinggal 560 unit lagi(Bappeda Sumbar, 1986).
Menurunnya jumlah kincir air penumbuk padi di Sumbar, diantaranya disebabkan oleh kondisi kincir banyak yang telah tua dan rusak. Sementara bahan baku kayu yang berkualitas untuk membangun kembali kincir air, semakin sulit didapatkan.
Kalaupun ada harganya sangat mahal. Disamping itu tenaga kerja yang punya keahlian membuat kincir air tersebut, jumlahnya sangat terbatas bahkan cenderung semakin langka.