Padang – Polemik PLTA waduk Koto Panjang terus berlanjut. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno berkirim surat ke Kemenagri pada 30 Juli 2020, pangkal bala masalah ini. Surat bernomor 973/912.pjk/B.Keuda-2020 diberi judul, “Sengketa Pajak”. Isinya: Di tempat mana air berada dimanfaatkan, yang dierjemahkan sebagai turbin oleh PLN, maka menurut Gubernur Sumbar, harus diterjemahkan dimana waduk itu berada. Mana bisa hanya turbin, sebab turbin bisa bergerak kalau ada air. Air bisa bekerja kalau ada waduk. Waduk itu, sebagian ada di Sumbar. Itu pasti. Surat dua halaman itu, dilengkapi dokumen setebal gaban.
Lalu menyikapi persoalan adanya istilah “pitih sanang” dari PAP waduk Koto Panjang, Gubernur Sumbar Prof Irwan Prayitno menyatakan, istilah tersebut dirasa kurang tepat dan kurang bijak dilontarkan, karena sangat melukai hati rakyat Sumbar.
“Saya mengikuti dan selalu memonitor dinamika persoalan itu dan rasanya apa yang disampaikan oleh beberapa anggota DPRD Sumbar pantas didukung dan kami pemerintah provinsi Sumatera Barat telah meresponnya dan memprosesnya secara administratif ke pusat. Baik secara tertulis maupun upaya lainnya kita lakukan ke Kemendagri. Surat ke Kemendagri sudah kita proses dengan melampirkan semua dokumen pendukung sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga kita Sumbar. Untuk itu kami harapkan masyarakat Sumbar baik di ranah dan di rantau, untuk sementara tenang dulu, percayakan saja kepada kami dan berikan kesempatan kepada kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat ” ujar Irwan Prayitno.
Yozawardi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar menyatakan, terdapat Daerah Tangkapan Air /DTA (Catcment Area) di Koto Panjang seluas 150.000 Ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang. Artinya, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat.
“Catchment area Koto Panjang seluas 150.000 Ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang, merupakan sumber utama penggerak turbin PLTA Koto Panjang yang berasal dari sungai-sungai dan hutan dari Sumatera Barat” ungkap Yozawardi.
Yozawardi juga mengungkapkan, untuk memastikan hutan tetap terjaga di Catchment Area, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebanyak lebih kurang Rp 2 miliar per tahun di APBD Provinsi Sumatera Barat.
Di lain pihak Maswar Dedi Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumatera Barat menyatakan, di lokasi daerah tangkapan air, dengan fungsi hutan lindung, karena kebutuhan pembangunan daerah dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW menjadi kawasan budidaya HP (hutan produksi) atau Area Penggunaan Lain (APL). Perobahan fungsi ini boleh dilakukan oleh Gubernur Sumbar, karena Gubernur punya kewenangan untuk mengalihfungsikannya.
“Sebenarnya telah banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di catcment area waduk Koto Panjang itu dan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. gubernur menolak. Ini karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan demi mempertimbangkan warga provinsi Riau, Gubernur Sumbar belum mau mengalihfungsikan hutan tersebut” ujar Maswar Dedi.
Afrizal Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sumatera Barat menyatakan “Ini bukan hanya persoalan jatah pembagian hasil pajak air permukaan yang tidak adil oleh Kemendagri, namun ini menyangkut harga diri rakyat Sumatera Barat yang dilecehkan.
“Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar Rp1.5 miliar, namun demi khalayak umat, selalu pemprov sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari 2 miliar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa? Kalau boleh saya nyatakan, pemprov Riau-lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini. Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau. Kedepan kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ketempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu” tegas Afrizal yang diaminkan oleh anggota Komisi III DPRD Sumbar lainnya.
Sejarah Waduk Itu
PLTA hebat ini diresmikan 1979, dengan menenggelamkan 11 desa/nagari dan gajah-gajah yang ada di sana dipindahkan. Dari 11 itu, dua nagari di Sumbar, Tanjuang Balik dan Tanjuang Pauh. Kedua nagari ini ditenggelamkan dan penduduknya dpindah ke Rimbo Data.
Hulu Sungai ada di Sumbar. PLTA dibuat di Kampar dengan bentangan waduk. Bendungan ini, menggerakkan 3 turbin yang kesemuanya berkapasitas 114 MW. Tinggi bendungan 58 meter. Lalu perlahan tapi pasti, sebanyak 26.444 rumah tenggelam, termasuk sawah, jembatan, masjid sekolah. Kebun rakyat seluas 9.000 hektare, jalan negara 25,43 Km dan jalan provinsi 27,2 km. Warga Tanjuang Balik, protes keras ke DPRD Sumbar lalu ke Komnas HAM dan ke Jepang, karena proyek ini didanai negara tersebut. Kenapa? Nagari sudah terendam, ganti rugi tak diterima.
Waduk seluas 3.337 Km2 ini, terluas di Sumatera. Danau Singkarak, hanya 107,8 Km2. Danau Toba saja, 1.130 Km2. Waduk itu telah jadi danau terluas dan kini jadi masalah baru, gara-gara surat Kemendagri yang dibuat dengan ceroboh itu. (001)