Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
***
Ketika Nabi kita, Muhammad SAW, masih hidup, pernah ada wabah. Sekarang juga ada, malangnya nabi sudah tak ada. Yang ada, ajarannya. Jika mau mengikuti nasihat Nabi maka datanglah ke surau, mushalla atau masjid. Atau datangi rumah beliau, bisa juga tunggu di jalan. Tanya pada buya.
“Buya yo bana tu ado hadis soal wabah dari Nabi.”
Hadistnya ada beberapa, salah satu di antaranya seperti yang ditulis di atas. Kita memang jauh dari sumbu, di daerah, informasi datang bersamaan, antara yang palsu dan yang asli.
Jangankan informasi, hadist saja banyak yang palsu. Maka ketika wabah corona, atau Covid-19 ini, ada baiknya, kita jaga jarak, sebab yang kena corona dan tidak, sekarang makin susah membedakannya.
“Jangan campur yang sakit dan yang sehat.”
Dokter Dr. dr. Andani Eka Putra, M.Sc. dalam banyak kesempatan kepada Singgalang, pers berperan sangat penting dalam mencegah penularan wabah dari Wuhan ini.
Pers jangan salah menginformasikan dan jangan terlalu bergegas. Gubernur Prof Irwan Prayitno juga menyebutkan,”jaga jarak, cuci tangan, pakai masker.” Nah, pakai masker saja, tanpa jaga jarak tak ada gunanya. Jaga jarak saja tanpa cuci tangan dan pakai masker, susah juga. Jadi harus sedundun, seiring sejalan.
Andani menjelaskan, kesehatan individu itu penting, tapi sangat penting semua individu di satu komunitas sehat. Apa kita suka, warga suku bangsa Minangkabau, banyak terkena covid? Ini akan berpengaruh pada kecerdasan.
Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sumbar, Jasman Rizal, kepada Singgalang menyebut, yang penting sekarang, bukan angka korban positif atau sembuh, melainkan setiap rumah tangga sehat.
“Tiap rumah yang sehat, berisi individu yang sehat. Yang sehat itu, tak terkena Covid. Caranya? Jangan sakit corona. Caranya? Jangan sok hebat, malala terus keluar. Keluar rumah oke, tapi benar-benar yakin akan keselamatan diri,” katanya.
“Ini konspirasi, ngak benar ini, dusta belaka. Ya, lah oke. Anggap 100 persen konspirasi politik, tapi pakai sakit, pakai mati. Apakah dengan asumsi “ini konspirasi,”lalu si corona takut sama Anda? Kalau memang takut, buktikan saja, pergilah ke rumah sakit, masuk ruang isolasi sendirian, bicara dengan pasien, lalu pulang. Kalau Anda sehat-sehat saja, baru top markotop.Kalau sakit?
Mau konspirasi, mau murni, mau buatan manusia, mau dari hewan, mau dari alam semesta, siapa yang kena ya sakit. Jadi masalahnya bukan konspirasi atau bukan, melainkan, bisakah kita terhindar darinya. Yang menyebut konspirasi, sumber, data, akurasi, fakta-fakta keras, utama dan kuatnya mana?
Kita sarok-sarok kuaci, rakyat kecil begini, lebih baik jaga kesehatan, ketimbang sok ahli teori konspirasi. Ini, tungku mulai dingin, awak asyik saja mangarengkang-ngarengkak sendirian.
“Hidung saya tak bisa pakai masker,” dusta belaka itu.
“Ambiak contoh ka nan sudah, ambiak tuah ka nan manang.” Apa contoh? yang meninggal dunia, dikuburkan boleh ditangisi jangan. Dimandikan iya, dikafani iya, tapi Anda bisa mendekat? Bisa ikut menguburkan? Tidak sama-sekali, karena itu wahai ayyuhannas Minangkabau, mari kita pakai masker dan jaga jarak. Oke bro?!
Hadist Nabi di atas, adalah alasan paling kuat, paling masuk akal untuk jaga jarak, bepergian dan sosialisasi dihentikan dulu, untuk masa depan yang lebih baik. Untuk anak cucu. Jangan sampai anak cucu orang Minangkabau, bungkuak sabuik, kaki ketek, pengka, dado sasak, lari tak bisa, salemo menjalejeh, mengecek mengegek, karena bapak ibu mamak, datuak, pemuka masyarakat mereka selain tak menasihati juga ada yang bandel.
Menjaga diri, sekaligus menjaga keluarga, juga menjaga agama kita agar tetap menjadi agama satu-satunya di suku bangsa kita. Aaamiin. (*)