Oleh Khairul Jasmi
Mah corona tu? Suruah badukuang jo denlah kok yo ado wabah tu. Itu dulu. Kini?
Kini mereka pucat pasi, bagai lebah ditepuk elang, kalang kabut tak tentu arah mendengar ada satu keluarga terpapar Covid
***
Kawan saya sekelurga kena Covid-19. Mereka di rumah saja di sebuah desa di provinsi kita ini. Pada awalnya warga di sana tak percaya. “Indak ado gai tu doh.” Ketika satu keluarga kena, se-nagari sensa, kalang kabut, paranoid. Bahkan ada yang stres. Mereka ada yang bak lebah ditepuk elang, sebelumnya bak lonjak labu dibanam tapi kini bak ayam manampak alang.
Ada petugas yang datang sosialisasi hidup sehat dan menjelaskan wabah Covid-19 dari Wuhan itu, mereka tak percaya. “Indak cayo den doh.” Lalu dicemoohlah petugas yang datang. Penjelasan petugas sia-sia saja, bak menjemur padi di atas jerami.
Maka sekitar dua pekan lalu, keluarganya kena. Diperintah isolasi mandiri di rumah. Masalah kemudian, orang se desa menjauh, membicarakannya di lapau seolah keluarga ini penderita kusta zaman lampau.
Keluar untuk berjemur saja dilaporkan ke polisi, tak ada yang antar makanan, hanya lihat-lihat jauh saja. Berbeda dengan di kota, tetangga datang mengantarkan makanan. Di sini? Keluarga ini dibiarkan saja terkurung. Untuk ada kawan-kawannya dari kota datang mengantarkan bantuan.
Sekeluarga di rumah, apa yang mesti dimakan selama dua pekan, bukanlah hal ringan. Beban berat itu semestinya di Minangkabau ABS SBK ini, akan menjadi ringan, namun tidak. Sikap masyarakat terbentuk untuk “menjauh” yang semestinya mendekat. Segalanya nanti akan bermuara pada pemerintah. “Yo ma kami tau,kami urang ketek, pengetahuan kurang.” Itu cara mengelak.
Orang sehat dilarang bersentuhan atau mendekat pada korban Covid. Kalau korban di rumah, makanan digayutkan di pagar maka itu dijamin aman bin aman binti aman dan aman bana sangaik, tapi malah itu yang tak dilakukan oleh tetangganya yang tiap hari shalat dan berdoa.
Hilang raso jo pareso, hilang rasa kebersamaan akibat rasa takut berlebihan, akibat paranoid.
Tak ada yang bertanya. Kawan saya lalu terbayang kondisi di Padang, satu komplek orang datang antarkan makanan jika ada yang terkena. Ia cinta desa dan nagarinya, ia cinta komunalnya, namun tatkala kondisi seperti itu, mereka malah menjauh. Di negeri ini kita cacek saja ABS SBK, bisa dicekiknya kita, bisa didoakannya kita sampai kering. Ketika ABS SBK itu diminta alam untuk dipraktikkan, mereka menjauh. Maka kini kawan saya diam saja di rumah, bersama hatinya, bersama tatap mata kosongnya dan bersama HP pintarnya.
Ia berangsur pulih, sebab sejak awal memang tidak parah. Sekeluarga itu, melalui hari-hari yang “dipencilkan” dengan tenang. Suatu hari kelak, kawan saya ini akan buktikan kepada kaum di desanya, tolong-menolong dalam hidup berkomal, merupakan perekat sejak dulu. Ia berdoa tak ada yang lain kena di desa itu.(*)