NINIK mamak kita di bawah mengurus segala soal, tapi tak ada anggaran. Ban kalau tak ada angin, mobil tak bisa jalan. Itulah sebabnya, jenderal mencatat semua masukan dan keluhan tersebut.
Adalah Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Sumatera Barat yang memikul beban adat istiadat Minangkabau. Nagari punya banyak urusan. Kalau pak wali, ada anggaran, sedang KAN sayuik-sayuik sampai. Suatu ketika ada, saat lain tidak.
Basis atau pondasi pelaksanaan adat tentulah di nagari. Ada nagari yang kaya, ada yang miskin. Sumar daya alam tak ada. Yang semacam ini, kata Jenderal perlu mendapat perhatian khusus. Ini namanya kebijaksanaan kepala daerah.
Jika ninik mamak pemangku adat bisa bertemu dalam rapat sekali sebulan, maka masalah di nagari bisa diraih. Rapat bisa dilaksanakan jika ada yang dibahas. Membahas saja tanpa ada anggaran, bisa tapi lambek jalannya.
Nagari akan elok kalau posisi pemeritah dan pemangku adat seimbang. Demikian juga ulama dan cadiak pandai. Penghormatan yang diberikan juga seimbang.
Ajaran adat menyebut, “kato pangulu manyalasaikan, mandareh kato dubalang. Adaik kok kurang takuasoi, dunia menjadi takupalang.
Untuk niat baik itulah KAN harus mendapat perhatian. Tidak saja dari sengi anggaran tapi juga dari pelatihan-pelatihan. Bukankah adat dipakai baru, kain dipakai usang.
Jenderal bermaksud membahas secara terperinci apa saja kebutuhan KAN di nagari. Ini penting dibicarakan, karena untuk kuatnya sebagai nagari, KAN memang harus bekerja maksimal untuk warga komunalnya.
Dalam kenyataan banyak urusan mesti singgah dulu ke KAN, baru kemudian pemerintah nagari. Kesadaran berbudaya Minang juga bisa tumbuh jika KAN telah memainkan perannya di desa adat. (malin kapalo koto)