JAKARTA – Peringatan Hari Pahlawan Nasional tahun ini terasa berbeda dari biasanya. Selain karena pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia, situasi ini juga menyadarkan kita bahwa telah muncul pahlawan-pahlawan baru di masa pandemi.
Sebutan pahlawan layak kita berikan bagi para tenaga kesehatan (Nakes), yang bertugas dalam penanganan COVID-19. Tidak hanya Nakes, tetapi juga mereka para relawan, anggota TNI dan POLRI, para petugas mobil ambulance, para petugas laboratorium, serta mereka semua yang mendukung penanganan COVID-19 dengan mengorbankan pemikiran, tenaga, dan waktunya, bisa disebut sebagai pahlawan di masa pandemi.
Tentara Nasional Indonesia yang biasanya menjaga perbatasan negara, kini pun turun tangan terlibat dalam penanganan pandemi COVID-19. Tugas pertama TNI bermula dari misi merelokasi mahasiswa Indonesia dari Wuhan ke Kepulauan Natuna.
Lalu misi selanjutnya adalah, menangani Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia dari kapal pesiar Diamond Princess dari Jepang yang ditempatkan di Pulau Sebaru, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kemudian hingga saat ini tim TNI, POLRI, Nakes, dan relawan masih terus bahu-membahu dalam mengelola Rumah Sakit Darurat COVID-19, salah satunya adalah RSDC Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Tanggung jawab besar diberikan kepada Letkol Marinir Muhammad Arifin, selaku Komandan Lapangan RSDC Wisma Atlet. Ia bercerita dalam acara Dialog Produktif Komite Penangan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) dengan tema “Berjuang dan Berbakti Menyembuhkan Negeri dari Pandemi”, Selasa (10/11), bahwa banyaknya pasien di awal masa pandemi, yang beragam latar belakang, menjadi tantangan tersendiri selama ia bertugas.
“Kendala-kendalanya banyak. Tapi, karena kita kebetulan punya pengalaman bagaimana menangani pasien COVID-19 secara psikologis di Natuna dan Sebaru, ini menjadi modal awal kita untuk melaksanakan tugas di RSDC Wisma Atlet. Bagaimana kita mendukung para pasien COVID-19 ini supaya mentalnya tidak jatuh”, ujarnya.
Pada awalnya, menerapkan protokol kesehatan di RSDC Wisma Atlet tidak mudah. Pemahaman untuk menerapkan protokol kesehatan di kalangan para pasien sangat rendah. Belum lagi gangguan secara mental ini membuat banyak pasien stress hingga timbul keinginan untuk bunuh diri dalam benak pasien COVID-19.
“Timbulnya tekanan pada diri pasien karena berkali-kali diuji Swab tidak menunjukkan hasil yang baik. Apalagi saat itu kondisinya sedang bulan puasa, pasien ingin pulang untuk lebaran di kampungnya, tapi karena tidak bisa pulang justru menambah beban pikiran”, ungkap Letkol Arifin.
Meskipun melaksanakan tugas yang sulit, sebagai seorang prajurit, Letkol Arifin meyakini bahwa kepercayaan yang diberikan adalah sebuah kehormatan. Begitu pula dengan semangat yang dibawa oleh Nakes dan relawan yang tergerak hatinya untuk mengabdi di RSDC Wisma Atlet. Perasaan yang kuat untuk membantu sesama, turut membawa seorang dokter muda, dr. Aulia Giffarinnisa, asal Sulawesi Selatan ke Wisma Atlet.
Ia dengan suka rela mengajukan diri menjadi dokter di RSDC Wisma Atlet, Kemayoran. Keinginannya untuk mengabdi pun tidak berjalan mulus, karena terlebih dahulu harus meyakinkan kedua orang tuanya.
“Dari April sudah ingin bergabung ke Wisma Atlet, tapi orang tua baru memberi izin di bulan Agustus. Pada September akhirnya mulai bergabung ke Wisma Atlet”, kata dr Aulia.
Berbeda dari rumah sakit pada umumnya, seluruh tenaga medis di RSDC wajib menggunakan Alat Perlindungan Diri (APD) dan hal ini menjadi tantangan yang cukup menyulitkan.