AGAM-Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari masih menjadi polemik bagi masyarakat di sejumlah nagari. Menyikapi hal ini, selain butuh revisi, persoalan ini harus segera disikapi oleh pemerintah kabupaten setempat dengan membuat Perda agar peraturan tentang nagari ini bisa diterapkan dengan sempurna.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Provinsi Sumbar, Guspardi Gaus pada saat melakukan sosialisasi Perda Provinsi Sumbar Nomor 7 Tahun 2018, Kamis (6/12) di aula Kantor Camat Tanjung Mutiara.
“Perda ini memang butuh revisi, maka dengan adanya kegiatan ini, kita bisa menyampaikan sekaligus mendengar kritik dan saran terkait Perda ini dari tokoh masyarakat yang hadir,” kata Guspardi.
Wakil Ketua DPRD Sumbar ini juga melihat bahwa munculnya persoalan atas lahirnya perda tersebut akibat beberapa hal yang ditetapkan di dalamnya yang masih menjadi perbincangan antar tokoh masyarakat dan kaum adat. Misalnya peraturan yang ada di pasal 12 perda itu, yakni kapalo nagari dipilih atau diangkat oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) berdasarkan musyawarah mufakat.
Tokoh adat dan masyarakat di kawasan Tanjung Mutiara pun, kata Guspardi, banyak yang masih meragukan pemilihan wali nagari dilakukan oleh KAN. Dengan demikian, sama saja pemerintahan nagari mundur lagi ke belakang, dan tidak lagi memegang asas demokrasi yang sudah lama dipegang oleh masyarakat Minangkabau.
Selain itu, tokoh masyarakat di sana, kata Guspardi, juga menyampaikan kritiknya terhadap adanya kelembagaan nagari bernama Peradilan Adat Nagari. Kata peradilan di kelembagaan ini dianggap terlalu keras, dan tidak biasa dengan sistem penyelesaian sengketa dalam adat Minangkabau.
“Ada tiga kelembagaan nagari yang diatur perda ini, yaitu Kerapatan Adat Nagari, Pemerintah Nagari dan Peradilan Adat Nagari. Jadi, pada peraturan baru ini, KAN sama halnya seperti DPRD kalau di pemerintahan provinsi. Masyarakat pun sepertinya masih asing mendengar kata peradilan ini,” kata pemilik Citra Swalayan ini.
Selain itu, terkait perda, pada kesempatan itu juga masukan dari tokoh masyarakat tentang masa jabatan Kapalo Nagari dan KAN yang ditetapkan selama enam tahun, dan dapat diangkat kembali untuk dua kali masa jabatan.
“Dengan adanya polemik ini kita minta pemkab masing-masing daerah di Sumbar bisa menyikapinya dengan arif dan bijak. Kesepakatan dalam peraturan yang rumuskan lebih aspiratif dan mewakili suara masyarakat bawah,” katanya.
Memang diakui Guspardi, Perda tentang nagari ini memang belum menyelesaikan masalah, karena Perda ini masih payung hukum, dan makanya peraturan dari pemkab nantinya yang menyempurnakan Perda itu hingga bisa berjalan baik.
Terkait Perda ini, pada kesempatan itu juga dibahas tentang opini-opini yang muncul dari masyarakat. Misalnya menjadikan jorong sebagai pemerintah terendah, seperti halnya desa. Sehingga dengan demikian, dana desa yang didapatkan oleh Kabupaten Agam ini misalnya lebih besar dari pusat.
Namun bagaimanapun juga, kata Guspardi, perda tentang nagari ini dihadapkan ke nagari-nagari di Sumbar dengan pilihan. Nagari bisa memilih untuk tetap memakai sistem nagari sesuai pemerintahan, atau menjalankan sistem nagari sesuai dengan hukum adat.