PADANG – Pemulihan utang dari pinjaman online (pinjol) seringkali melibatkan peran penting dari penagih utang atau debt collector (dc).
Selain menggunakan tenaga internal, perusahaan-perusahaan fintech peer to peer (P2P) Lending juga menggandeng pihak ketiga untuk melakukan penagihan.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat bahwa sekitar 14.000 individu tercatat sebagai penagih utang pinjol.
Sunu Widyatmoko, Sekretaris Jenderal AFPI, menyatakan bahwa semua debt collector yang bekerja telah melalui proses sertifikasi.
“Demi memastikan profesionalisme, kami memastikan bahwa seluruh debt collector, baik yang bekerja secara internal maupun yang bekerja sebagai vendor atau pihak pendukung, telah melewati proses sertifikasi. Saat ini, jumlah debt collector yang telah tersertifikasi mencapai 14.000,” ungkap Sunu dilansir CNBCIndonesia.
AFPI juga telah menetapkan sejumlah Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk memberikan panduan kepada debt collector dalam melakukan penagihan utang.
Organisasi ini secara tegas menolak tindakan-tindakan represif dalam proses penagihan pinjol, termasuk tindakan kekerasan.
“Jika ada pelanggaran terhadap kode etik yang telah ditetapkan, kami akan melakukan tindakan flagging. Hal ini bertujuan agar, jika seorang debt collector dipecat dari perusahaan fintech tempatnya bekerja, kami dapat memastikan bahwa orang tersebut tidak akan dipekerjakan lagi oleh anggota AFPI yang lain,” tambahnya.
Di sisi lain, tindakan yang dilakukan oleh debt collector menjadi sorotan setelah seorang korban dari AdaKami melaporkan metode penagihan utang pinjol melalui aplikasi X atau sebelumnya di Twitter.
Korban tersebut mengalami ancaman dan gangguan, termasuk panggilan telepon ke kantor serta pengiriman makanan melalui pemesanan palsu menggunakan aplikasi ojek online.
Pada kesempatan yang sama, CEO AdaKami, Bernardino Moningka Vega, mengklaim bahwa perusahaannya memiliki 400 debt collector internal.
Ia juga menyatakan bahwa perusahaan memiliki prosedur khusus dalam melakukan penagihan utang.