Catatan Ilham Bintang
Program Talkshow Indonesia Lawyers Club yang tayang di TVOne Selasa (8/10) malam menyajikan :” Buzzer, Siapa Yang Bermain”. Seperti lazimnya tema yang disorot ILC adalah topik yang menarik perhatian publik selama sepekan. Produser ILC, Andriy Bima mengundang saya untuk ikut urun rembuk dalam diskusi itu.
Buzzer hari-hari ini memang merupakan topik hangat di tengah masyarakat, sampai sekarang. Menimbulkan kembali silang pendapat dua kubu yang dulu berseberangan : Kampret vs Cebong. Rupanya konflik itu masih berkelanjutan sampai sekarang. Padahal, mestinya sudah reda sejak dua ponggawa mereka sudah bertemu. Berkali- kali.
Mestinya tidak ada lagi kubu 01 maupun kubu 02. Seperti yang dideclare ponggawa kedua belah pihak, kini menjadi 03, mengusung sila 3 Pancasila: Persatuan Indonesia.
Memang ada banyak hal yang memantik perseteruan baru ini. Revisi UU KPK, UKUHP, demonstrasi mahasiswa yang merenggut nyawa dua mahasiswa. Belum lagi tindakan represif aparat pengamanan saat aksi unjuk rasa mahasiswa pelajar, dan sebagainya. Yang menambah gaduh adalah klaim-klaim dua kubu di media sosial. Seperti melanjutkan kisah lama mereka : saling mengaku difitnah. Saling menuduh aktifitas di media sosial adalah buzzer piaraan mereka. Saling tuduh itu buzzer bayaran. Ada pembina diidentifikasi orang yang berasal dari Istana. Maka sebentar saja, populer dengan istilah Buzzer Istana.
Sikap beberapa media pers yang belakangan ( kalau tak mau disebut berbalik) menunjukkan sikap kritis kepada Presiden Jokowi ikut menambah tajam perseteruan. Pembela Jokowi pun terang-terangan menunjukkan kemarahan kepada pihak Majalah Tempo yang dalam tiga edisi terakhir menyajikan coverstory tentang Presiden. Gambar sampulnya dari “Pinokio “ hingga yang terbaru pose Jokowi tanpa kedudukan.
Di sinilah kejelian Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TVOne merangkap host ILC, yang mengangkat topik hangat itu. Pembicara diundang dari pihak yang berseteru, sama jumlahnya kedua pihak, dan sama pula kesempatan dan durasinya bicara. Ada Ustaz Haikal Hasan, dari Istana Ali Mochtar Ngabalin, pegiat medsos Eko Khuntadi. Ada pula beberapa wakil partai Dahniel Azhar, Tsamara Amani. Dari Partai Berkarya, Vasco, Teddy Gusnadi dari PKPI, dan Arya Sinulingga. Pakar media sosial dari Drone Emprit, Ismail Helmy jadi pembicara awal malam itu. Dia mengurai pengertian influencer buzzer, nitizen dan istilah-istilah tehnis khas media sosial.
Beruntung saya mendapat giliran terakhir berbicara, sebelum Menkominfo Rudy Antara yang menjadi penutup ILC yang malam itu tayang hingga lewat malam. Dengan begitu saya bisa menyimak silang pendapat antar pembicara dari dua kubu. Tidak ada kejelasan hingga akhir, debat sarat dengan saling lontar tuduhan. Cukup berimbang.
Yang sengsara malam itu Budi Setyarso, pemred Koran Tempo. Ia diperlakukan seperti pesakitan dari para pegiat media sosial. Sikap redaksional Tempo yang menyoal Buzzer yang dinilai mengganggu demokrasi direspons dengan sikap frontal penggiat medsos. Budi dicecar untuk membuka sumber berita yang membuat Tempo mengambil kesimpulan ada Buzzer Istana.
Budi makin terjepit oleh keberatan Ali Mochtar Ngabalin. Staf Deputi IV Kepala Sekretariat Presiden menyoal cover-cover Majalah Tempo yang menampilkan Jokowi. Terutama, cover gambar Pinokio.
Tibalah giliran saya bicara. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Karni Ilyas membagi durasi 30 menit untuk tiga pembicara yang tersiss: saya, Daniel dan Rudi Antara. Sehingga saya harus mengatur bicara poinnya saja.
Saya mengatakan tanpa diminta, saya telah memeriksa beberapa edisi majalah Tempo. Sejauh penilaian, saya tidak menemukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Produknya mematuhi prinsip kerja jurnalistik yang benar.