Saya juga tidak menemukan ada pelecehan simbol negara, karena sesungguhnya Presiden memang bukanlah simbol negara seperti yang diatur dalam UU. Presiden adalah pejabat publik, dipilih oleh publik, oleh karena itu posisinya terbuka dikritik publik.
Sebagai media pers redaksi Tempo tentu tidak alergi pada kritik terhadapnya. Sebagaimana umumnya karakter pers pejuang, Tempo pasti mewarisi juga sikap rendah hati pendahulu wartawan, para pejuang printis pers. Yang selalu memikirkan mendahulukan rubrik suara pembaca setiap kali menerbitkan surat kabar. Itu menjelaskan mereka sangat terbuka untuk koreksi bahkan sampai penuntutan hukum.
Saya menanggapi pandangan pembicara seakan pers kebal hukum. “ Kami tidak mungkin berbohong, soalnya ancaman yang kami hadapi 4 tahun penjara kalau membuat fitnah. Sedangkan Tempo cukup datang kepada Dewan Pers untuk minta maaf, selesai persoalan,” kata Eko Khuntadi. Tentu saja itu keliru. Pers bukan tidak bisa dihukum. Ada UU yang mengatur mekanisme pengajuan keberatan kepada pers. Pertama, layangkan hak jawab kepada media, seperti yang dilakukan oleh Presiden SBY dulu.Tak cukup? Bisa lanjut ke Dewan Pers. Tak puas di sini, bisa diteruskan kepada proses hukum.
“Saya kalau menyatakan mendukung kepada pemerintah, dimana salahnya? ,” tanya Eko. Memang tidak salah menyatakan dukungan kepada pemerintah melalui media manapun. Pers juga tidak lantas melanggar apapun kalau terus mengkritisi pemerintah. Itulah bagian dari warisan tokoh pers pendahulu kita. Kata PK Oyong, pendiri Kompas, wartawan bukanlah para pengabdi dan penjilat kekuasaan.
Ada pun Teddy Gusnadi sempat nyecar Budi untuk membuka sumber informasi Tempo sehingga mengambil kesimpulan ada “Buzzer Istana”
Ini jelas mustahil. Perkara sumber berita itu diatur dalam kode etik jurnalistik. Sampai mati pun tidak akan mungkin dibuka. Selain diatur oleh kode etik, UU pun memberi jaminan terhadap hak tolak itu. Artinya di pengadilan saja pun, wartawan dapat menggunakan hak tolak.
Bukan hanya Teddy, bahkan Ngabalin pun tampaknya tidak tahu, wartawan bekerja dengan berpegangg pada kode etik jurnalistik. Itulah konsep operasional moral wartawan. Menyalahi itu tamatlah riwayat wartawan. Sebab itu menjadi martabatnya. Melanggar kode etik jurnalistik bagi media seperti Tempo itu sama dengan bunuh diri. Lebih berat dibandingkan melanggar hukum.
Memang tidak ada pembicara segarang Ali Mochtar Ngabalin mempersoalkan Tempo malam itu. Secara terbuka dia menyerang Tempo dengan kata-kata amat kasar untuk dilakukan pejabat negara seperti dia. Pakai cara intimidasi dan kata terkutuk segala untuk Tempo. Karni Ilyas berkali- kali menegurnya. Tapi tak mempan.
Berulangkali dia menyatakan dirinya sebagai “ abdi dalam” Presiden Jokowi dan oleh karena sangat terluka “junjungannya” ditampilkan dalam cover Pinokio.
Saya sebenarnya tak cuma kenal tetapi cukup bersahabat dengan Ngabalin. Saya menyayangkan cara dia kayak banteng terluka menyampaikan keberatan. Seperti menutup mata terhadap aturan berurusan dengan media. Mestinya text lawan text, bukan text dilawan intimidasi dan kutukan.
Budi menginformasi pernyataan saya. Sampai malam itu, belum ada surat pernyataan keberatan dari pihak Istana soal cover Tempo tersebut. Tapi ini juga tak dihiraukan Ngabalin. “ Buat apa lagi, orang sudah babak belur, kok, “ sahut dia.