Selama tiga tahun, sejak 2013, Erik menjajakan hasil kerajinannya di pinggir jalan, tepatnya di kawasan Ulak Karang. Dia pun semakin semangat berjualan, karena ternyata ada saja peminat untuk lampu hias yang sudah dibuatnya. Mengingat kondisi penjualan yang kurang kondusif, Erik kemudian beralih membuka lapaknya secara online.
Tawaran pun mulai datang dari berbagai daerah di Indonesia. Hingga ia juga mendapatkan pesanan dari Bali, sekitar 20 lampu hias perbulannya. Dari luar negeri pun juga pernah, seperti lampu hiasnya yang pernah dikirim ke Brazil.
Melihat perkembangan yang cukup bagus dari usaha daur ulang paralon ini, Erik dan beberapa rekannya mulai menggarap produk-produk lain berbahan paralon, seperti tas, buku, hingga ada juga pesanan untuk membuat plafon hias. Karyanya pun sampai diminati pemerintah, seperti lampu hias besar yang ada di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumbar dan pembuatan gonjong dengan ukiran di Kantor Lurah Jati.
Melihat usahanya mulai berkembang, Erik mengajak beberapa orang kawannya untuk bergabung membuat kerajinan paralon ini. Sampai saat ini anggotanya sudah mencapai 17 orang. Sebanyak 7 orang aktif berproduksi setiap harinya. Rumahnya di kawasan Asratek, Ulak Karang pun kemudian juga dijadikan sebagai tempat produksi.
Bahan baku paralon pun tidak susah untuk didapatkannya. Saat ini dia bisa membeli pipa bekas dari pengepul di Lubuk Buaya. Sedikitnya, untuk pembelian bahan baku ia bisa menghabiskan uang sebesar Rp.2,5 juta per bulannya.
Erik mengatakan, ide untuk menjadikan paralon sebagai produk kerajinan ini juga karena melihat efek buruk dari sampah plastik yang dihasilkan. Setidaknya satu paralon membutuhkan waktu 500 tahun untuk penguraiannya. Dengan mendaur ulang, menjadikannya karya seni, setidaknya bisa membantu mengurangi tumpukan sampah plastik.