Bahas Reforma Agraria dan Konflik Pertanahan, Komite I DPD RI Temui Pemprov Sumbar

PADANG – Komite I DPD RI concern terhadap pelaksanaan program reforma agraria dan penyelesaian konflik-konflik pertanahan di daerah. Dalam upaya mendapatkan temuan-temuan dan aspirasi di lapangan terkait permasalahan reforma agraria dan konflik pertanahan, Komite I DPD melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Barat, Selasa (17/02).

Delegasi Komite I yang dipimpin Ketua Komite I Dr. Andi Sofyan Hasdam, diterima Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi di auditorium Istana Gubernur. Kegiatan ini dihadiri pula Senator Irman Gusman, Jialyka Maharani, Fritz Tobo Wakasu, Sudirman Haji Uma, Lamex Dowansiba, Ade Yuliasih, Achmad Azran, Muhammad Mursyid, Muhammad Hidayattollah, Ismeth Abdullah, Maria Goreti , Abdul Hakim, Abraham Liyanto, Bisri Ashiddiq Latuconsina, Hasan Basri, Ian Ali Baal Masdar dan Arya Wedhakarna.

Dalam sambutannya, Andi Sofyan Hasdam menyampaikan DPD memilih mengunjungi Sumbar dalam kegiatan pengawasan reforma agraria ini karena konflik pertanahan yang terjadi di sini dapat dikatakan cukup tinggi dan kompleks.

“Berdasarkan data yang ada, konflik-konflik yang terjadi umumnya meliputi konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan, konflik antara petani dengan perusahaan tambang, konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan konflik antara masyarakat dengan pengembang properti”, pungkasnya.

Sementara itu, Mahyeldi, gubernur petahana yang terpilih kembali untuk periode 2024-2029, menyampaikan reforma agraria tidak hanya terfokus pada redistribusi dan sertifikasi tanah semata, tetapi juga pemberdayaan ekonomi masyarakat agar sumber tanah yang dimiliki dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran bersama masyarajat. Oleh sebab itu, reforma agraria sangat penting untuk memberikan kepastian hukum terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, diantaranya tanah-tanah ulayat.

“Tanah ulayat merupakan tanah yang dihibahkan secara turun temurun dari keluarga besar. Tanah hibah tersebut mirip dengan wakaf ahli dalam konsep agama Islam dan tanah inilah yang menjadi karakteristik kearifan lokal bagi masyarakat Sumatera Barat, Tegas Mahyeldi. “Karena itulah, perlu ada sertifikat khusus bagi tanah ulayat agar tidak mudah diperjualbelikan”, tutup Mahyeldi.

Senator yang hadir, diantaranya Irman Gusman, mengharapkan dalam kegiatan ini Komite I dapat memperoleh masukan-masukan berharga sebagai bahan rekomendasi pengawasan terhadap reforma agraria yang sedang disusun. Irman juga meminta agar Pemprov Sumbar dapat bersinergi dengan Kepala Kanwil ATR/BPN Sumbar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan.

Senator Hasan Basri yang juga hadir menanyakan apakah di Sumbar terdapat konflik di kawasan tanah WKP yang dikuasai pertamina atau BUMN dengan masyarakat sekitar yang menempati tanah tersebut. Secara aturan, masyarakat memang tidak punya hak untuk tinggal di kawasan tersebut, akan tetapi pada kenyataannya mereka berkediaman di situ. Efeknya, tidak ada PAD yang dapat diraup karena masyarakat tidak membayar pajak. Kedua, mengenai TORA, saat ini tidak sedikit kawasan di negara kita yang ditetapkan sebagai kawasan hutan tetapi secara kondisi faktual ternyata hutannya sudah tidak ada dan kawasannya sendiri dikelola masyarakat. Apakah kasus seperti ini terjadi Sumatera barat dan kalau ada bagaimana penyelesaiannya?

Gubernur menanggapi pertanyaan Hasan Basri tersebut Sumbar juga menghadapi persoalan seperti yang ditanyakan. “Itulah sebabnya saat ini kami sedang mendorong pembentukan dinas khusus pertanahan untuk dapat menjembatani penyelesaian persoalan-persoalan pertanahan yang ada”, tegas Mahyeldi.

Senator Jialyka Maharani juga turut menyuarakan mengenai pentingnya edukasi terkait administrasi pertanahan, karena memang celah masuknya mafia tanah akibat minimnya literasi hukum terkait tanah di masyarakat. Selain itu Jialyka juga menanyakan sejauh mana sinergitas Aparat penegakan hukum (APH) dalam menangani kasus-kasus pertanahan di Sumbar.

Sementara itu, Senator asal NTT Abraham Liyanto menambahkan, “UU agraria No. 5 Tahun 1960 yang berlaku saat ini sudah cukup lama. Oleh sebab itu perlu untuk direformulasi kembali”. Apalagi, konflik-konflik agraria saat ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan mafia yang bahkan melibatkan oknum pemerintah itu sendiri dan juga dunia usaha. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, perlu ada pembaharuan UU Agraria yang mampu mengantisipasi isu-isu tentang mafia tanah”, tegasnya. Kemudian, Abraham melanjutkan komentarnya mengenai isu pemotongan anggaran yang berpotensi mengganggu jalannya reforma agraria dan dapat berpengaruh kepada tujuan reforma agraria itu sendiri yaitu untuk penataan kembali penggunaan tanah yang berkeadilan dan berguna bagi masyarakat.

Senator yang lainnya lagi, Bisri Ashiddiq Latuconsina, memberikan perspektif bahwa setelah program PTSL yang berorientasi kepada perorangan pada tahun sebelum-sebelumnya maka untuk tahun tahun ini dan ke depan perlu bergeser fokusnya kepada PTSL untuk tanah komunal. “Hal ini untuk membentengi agar tidak ada program strategis nasional yang menggerus sumber daya pertanahan daerah, hak-hak masyarakat dan semangat otonomi daerah”, tandasnya.