Khairul Jasmi
wartawan utama
Shevilla, petugas resepsionis Swiss-belHotel, Balikpapan menyergap saya dengan pertanyaan, “kenapa tak bawa randang, Pak?” Pertanyaan itu muncul ketika ia tahu saya dari Padang. Tak disangka, pertanyaan tunggal itu menyerat pikiran saya pada msakan rendang ibu di kampung.
“Rencana mau buat rumah makan padang di ibukota baru, menu utamanya rendang,” mendengar jawaban itu, ia menyebut, calon ibukota baru itu,sepi.
“Oh mau ke Penajam, sekarang masih sepi Pak,” katanya dengan memanjangkan “i” sampai tiga alif, di Balikpapan, Selasa (1/10).
“Mana yang bagus Sumatera dari Kalimantan, Pak?”
“Ya bagus Sumatera-lah.”
“Itu karena Bapak tinggal di sana, he he,”kata Shevilla sembari menyiapkan kunci kamar beberapa orang tamu.
Saya tiba di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Selasa siang, setelah hujan menguyur. Terbang dua jam dari Jakarta, melintasi Laut Jawa, mendarat dengan mulus di bandara antarbangsa Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan yang terminalnya sebesar kampung itu. Inilah bandara tersibuk di Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia itu.
Di kota minyak berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa ini ada 10 buah mall, satu di antaranya Balikpapan Ocean Square (BOS) yang menurut sopir yang mengantar saya, kosong melompong, karena kalah oleh mall lain, tapi menurut seorang petugas hotel, sedang direnovasi.
Mana yang benar? “Lagi kosong Pak, kalah bersaing tapi sekarang pemiliknya sudah baru, beberapa bulan lagi akan masuk ratusan tenant, konsep dan layoutnya diubah, biar lebih gaul,”kata petugas hotel yang lain.
Di sanalah Swiss-belHotel berada. Di kamar nan lega menghadap Selat Makassar, tempat pelaut-pelaut Bugis nan gagah perkasa zaman lampau melintas. Di selat ini pula, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk ri Bandang asal Minangkabau pernah berlayar.