Kelebihan lainnya adalah saat penggunaannya, briket tidak menimbulkan asap maupun bau. “Membakar makanan dengan briket yang kita hasilkan dari tongkol jagung sangat aman untuk dikonsumsi, karena dibuat dari bahan organik, yaitu arang tongkol jagung yang dicampur tepung tapioka, dan air,” sebutnya.
Selain itu, panas yang dihasilkan dari briket tongkol jagung juga relatif tinggi dibandingkan kayu biasa, yaitu mencapai 5.000 kalori. Terpenting lagi, tidak beresiko meledak atau terbakar, seperti kompor minyak tanah atau gas elpiji.
Butuh dorongan pemerintah
Melihat tingginya potensi briket arang tongkol jagung ini tak salah bila pemerintah mulai menggerakkan masyarakat di sentra-sentra jagung di Indonesia mengolah limbah tongkol jagung menjadi briket.
Di Indonesia, terdapat cukup banyak provinsi yang menjadi sentra produksi jagung. Berdasarkan data BPS pada 2020, ada Jawa Timur dengan produksi jagung mencapai 6.131.163 ton. Lalu, Jawa Tengah 3.212.392 ton jagung. Kemudian Sulawesi Selatan dengan produksi 1.528.413 ton. Sumatra Utara dengan produksi 1.516.407,00 ton jagung. Seterusnya ada Lampung dengan produksi 1.502.800 ton, dan banyak lagi provinsi lainnya. Secara total produksi jagung di negara ini berdasarkan data tersebut mencapai 19.612.435 ton.
Artinya juga akan ada cukup banyak limbah dari tongkol jagung yang terbuang begitu saja. Rizal Aziz, Suswati dan Indrawati dalam penelitiannya yang ditayangkan pada Abdimas Vol. 19 No. 2 Desember 2015 menyampaikan, sebanyak 20-30 persen dari 100 kg jagung yang dihasilkan adalah limbah jagung. Salah satunya adalah tongkol jagung.
Data Dinas Pertanian Tanah Karo pada 2007 yang dikutip ketiga peneliti itu menunjukkan bahwa dari 20 hektare luas tanam jagung di Desa Simalop yang menjadi tempat penelitian mereka, sebanyak 72-120 ton adalah limbah tongkol jagung.
Tidak berbeda dengan itu, di Gorontalo berdasarkan hasil penelitian Siradjuddin Haluti dalam jurnal Energi dan Manufaktur Vol. 9 No. 1 April 2016 diketahui produksi limbah tongkol jagung di provinsi itu dalam kurun waktu lima tahun (2008 hingga 2012) mencapai 501.685 ton atau per tahunnya 172.913 ton.
Limbah-limbah itu hingga saat ini belum dikelola secara maksimal. Hanya sebagian kecil yang diubah jadi bahan bakar dan sisanya membusuk dan dibakar.
Minimnya masyarakat mengolah limbah jagung, salah satunya disebabkan kurangnya pengetahuan mereka dalam mengolah limbah tersebut menjadi briket atau energi terbarukan lainnya.
Di sinilah, dibutuhkan peran serta pemerintah dalam mendorong peningkatan pemanfaatan limbah jagung jadi briket. Pemerintah dapat bekerjasama dengan para dosen yang kompeten dalam bidang ini, sehingga limbah tongkol jagung tak hanya terbuang percuma.