Opini  

“Bundo Kanduang” dalam Pilkada 2020

M. Wahdini Purba

***

Dalam konteks sosio-historis, budaya politik atau kharakter politik kepemimpinan dari Luhak Tanah Datar agak berbeda dengan dua luhak lainnya, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh. Sebagaimana kita ketahui, kepemimpinan politik di Minangkabau digariskan (diciptakan) dua orang pembesar dari Pagarruyung, Datuak Katumanggungan dan Datuak Prapatih Nan Sabatang. Dua bersaudara, tapi berlainan ayah. Pertama dikenal dengan kelarasan Bodi Caniago (demokratis, hukum berasal dari bawah, mambassuih dari bumi, atau bottom-up); sementara kedua, kelarasan Koto Piliang, hukum yang dipakai otokrasi (bukan otoriter), titiak dari ateh, top-down).

Setelah melalui perdebatan panjang yang berujung konflik (peristiwa batu batikam), dengan bijaksana Bundo Kanduang memberi titah: memakai kedua model kepemimpinan tersebut: luhak Agam dengan Bodi Caniago dan luhak paling bungsu, luhak Limapuluh menerapkan Koto Piliang.

Bagaimana dengan luhak Tanah Datar, di luhak berkuasanya Bundo Kanduang? Sebagaian pengamat mengatakan menerapkan kedua sistem hukum tersebut, sementara pengamat lain berpendapat “campuran”, sebagaimana bunyi fakwa adat: Pisang sikalek-kalek utan, pisang tambatu nan bagatah; bodi caniago inyo bukan, koto piliang inyo antah]. Dalam kamus politik mungkin lebih dekat disebut mixed politics.

Pertanyaannya, apakah di tengah hingar-bingar politik dewasa ini kita “merindukan” kepemimpinan Bundo Kanduang? Atau saya yang salah dalam mengamati fenomena ini? Sebagai orang luar, tentu saya dimaafkan!***