Apresiasi sudah sepatutnya diberikan kepada jajaran Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).PT. (Persero) Bank Rakyat Indonesia Tbk. (kode BEI BBRI) atas kinerja yang telah ditorehkan semenjak dipimpin oleh duet Direktur Utama (Dirut) Sunarso dan Wakil Dirut Catur Budi Harto. Salah satu indikator kinerja sebuah badan hukum usaha sebagai entitas ekonomi dan bisnis yang dinilai sebagai prestasi manajemen secara periodik (1 tahunan) oleh publik, yaitu perolehan laba. Khusus bagi pemegang saham (shareholders) perusahaan tentu saja yang ditunggu adalah pembagian dividen yang berasal dari perolehan laba tahunan tersebut.
Untuk itulah, maka dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Jum’at 1 Maret 2024 BUMN BRI menyetujui penggunaan laba bersih konsolidasi sebesar 80% atau senilai Rp 48,1 triliun sebagai dividen yang dibagikan ke pemegang saham atau setara dengan Rp 319 per lembar saham. Porsi dividen yang merupakan hak negara sebagai pemegang saham mayoritas adalah sejumlah Rp 25,71 triliun. Dan, jumlah ini sudah termasuk interim yang telah dibayarkan sebelumnya kepada negara pada pada 18 Januari 2024 sejumlah 6,77 triliun. Jadi, sisa porsi dividen tunai yang harus dibagikan kepada negara melalui rekening kas umum berjumlah Rp 18,94, demikian disampaikan oleh Dirut BRI Sunarso. Porsi lainnya dibagikan kepada pemegang saham publik sejumlah Rp 22,39 triliun yangmana sejumlah Rp 5,9 triliun telah dibayarkan tahun lalu, sehingga sisa dividen tahun ini hanya dibagikan sejumlah Rp 16,49 triliun.
Kinerja BRI memang luar biasa dalam peta persaingan industri perbankan tidak tertandingi, termasuk oleh bank swasta nasional terbesar Bank Central Asia (BCA) yang hanya mampu membukukan laba bersih tahun 2023 sejumlah Rp48,6 triliun atau naik sebesar 19,4 persen terhadap tahun 2022. Rata-rata perolehan laba yang berhasil dicapai oleh BRI selama sewindu atau 8 tahun (sejak 2015) terakhir adalah Rp18-35 triliun, dengan perolehan terendah pada Tahun 2020 sebesar Rp18,66 Triliun, sedang Bank Mandiri hanya mencatatkan laba sejumlah Rp17,1 Triliun.
BRI juga memiliki rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sebesar 27%. CAR sejumlah ini telah melampaui ketentuan Basel III yang mensyaratkan minimal CAR perbankan sebesar 17,5% merupakan permodalan perseroan yang cukup kuat. Selain prestasinya yang mengejutkan publik, kinerja kedua pimpinan BRI ini juga melampaui capaian kinerja kolega sesama BUMN perbankan lainnya, seperti BNI, Bank Mandiri dan BTN. Rasio CAR ini dalam jangka panjang bisa saja tergerus apabila kepentingan pemegang saham publik tidak terakomodir dan menarik sahamnya dari BRI jika tidak berkinerja positif menghasilkan laba dan membagikan dividen.
Lebih dari itu, apalah artinya kinerja cemerlang BUMN BRI apabila porsi dividen yang diberikan kepada negara hanya sebesar 56,75% saja dari laba yang dihasilkan tersebut atau tidak 100 persen. Kenapa demikian? Sebab, BUMN ini telah memecahbagikan sahamnya (stock split) dan tercatat sebagai emiten di BEI pada 10 November 2003. Saat pertama kali melakukan penawaran saham perdana kepada publik (Initial Public Offering/IPO) harga jual sahamnya adalah Rp875/ lembar. Atas perkembangan IPO itulah, maka komposisi saham Negara tidak lagi 100 persen, namun telah berada ditangan publik sebesar 43,25%. Artinya, dividen yang diterima tahunan berkurang atau tidak lagi masuk ke rekening kas umum negara tahun 2023 sejumlah Rp48,1 triliun.
Konsekuensi pengurangan saham negara itulah yang berdampak pada pembagian porsi laba yang dibagikan dalam bentuk dividen kepada masing-masing pemegang saham. Hal sama juga telah terjadi pada BUMN-BUMN lain atas kebijakan IPO yang telah ditetapkan oleh otoritas pemerintah. Sebagai contoh kasus lainnya, yaitu pembagian dividen oleh BUMN PT. (Persero) Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN, merupakan salah satu subholding gas dari Holding BUMN Pertamina. Laba yang diperoleh PGN kemudian dibagikan dalam bentuk dividen sejumlah Rp3,01 triliun pada tanggal 29 Juni 2022 sesuai keputusan RUPS. Yangmana komposisi pembagian dividennya masing-masing sebesar 43,04% untuk pemegang saham publik (korporasi swasta, individu dan asing) dan untuk negara hanya tinggal sebesar 56,96% atau hanya masuk ke rekening kas umum negara sejumlah Rp1,7 triliun saja.
Dengan kinerja manajerial seperti itu, lalu bagaimanakah bentuk dan cara BRI meningkatkan nilai sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia supaya tidak hanya menjadi slogan. Sebab manfaat ekonominya, setelah saham negara diperjualbelikan di pasar BEI, sebesar 43,25 persen telah terdistribusi sebahagiannya bukan kepada masyarakat banyak. Permasalahan utamanya memang secara kritikal ekonomis terletak pada kebijakan memecahbagikan saham (stock split) Negara tersebut. Oleh karena itulah, pemerintah diminta mengambil pelajaran atas konsekuensi kebijakan IPO BUMN yang berdampak pada pengurangan hak negara atas dividen untuk menambah kas negara. (*)