Oleh: M.Khudri
Suatu hari di tahun 1946, sebanyak 7 orang pejuang kemerdekaan RI pimpinan Yahya Usman dan Marah Yulius melakukan serangan granat kepada sebuah jeep yang ditumpangi tentara Belanda NICA yang menyusup bersama tentara Sekutu. Serangan itu selain karena semangat juang mempertahankan kemerdekaan, dipicu oleh ucapan, “Melayu Kopi Daun” yang dilontarkan oleh serdadu Belanda.
Istilah Melayu Kopi Daun, adalah istilah untuk mengejek orang Minangkabau oleh Belanda. Begitulah, anak buah Yahya Usman dan Marah Yulius, marah saat berpapasan dengan tentara Nica Belanda di Ampang Ampang Kereta Api Bukit Putus karena dicemooh dengan ucapan Melayu Kopi Daun. “Hei..Melayu Kopi Daun, Godverdomme!”, kata Belanda yang merasa berkuasa atas Padang yang hendak menuju Teluk Bayur dari pusat kota Padang.
“Walaupun dijawab oleh pejuang dengan kata , “Mandeang!” atau Makmu, tapi pejuang merasa sangat terhina dengan kalimat Melayu Kopi Daun itu,” kata tokoh pejuang Angkatan 45, Azwar Datuk Mangiang kepada penulis sekitar tahun 1986 lalu.
Menurut Datuk Mangiang, Melayu Kopi Daun , adalah sejenis kata “bully” Belanda kepada orang Minangkabau. Belanda mencemeeh kebiasaan orang Minangkabau yang hanya dapat menikmati daun kopi untuk diminum, sementara bubuknya yang mahal hanya dinikmati Belanda dan Eropa .
Karena istilah Melayu Kopi Daun yang rasialis itu sangat fenomenal dalam konteks kolonialisme Belanda di Minangkabau, maka Mestika Zed menjadi ungkapan itu sebagai tema Penelitiannya untuk Tesis S2nya di Universitas Gajah Mada
Menurut Guru Besar Sejarah UNP yang telah wafat 1 September 2019 itu, Belanda memaksa masyarakat menanam kopi dan memonopoli setiap komoditi kopi yang ada. Rakyat diwajibkan menanam kopi dan wajib pula menjual kepada Belanda yang harganya dibenamkan sampai seperempat harga pasar, harga ditentu secara sepihak oleh kolonial Belanda. Otomatis, jika rakyat ingin beli, harga kopi terasa sangat mahal. Masyarakat pribumi, bahkan yang punya pohon kopi sendiri maupun pekerja di kebun kopi, tidak dibolehkan menikmati kopi.
Menghadapi perilaku Belanda tersebut, masyarakat melakukan perlawanan. Caranya, tidak lagi mengurus pohon-pohon kopi. Karena tidak bisa menikmati buah kopi, daun kopi yang begitu mudah didapat dan gratis dijadikan masyarakat sebagai bahan minuman.
Begitulah, sejatinya minum air daun kopi bagi orang Minang sudah lazim sebelum Belanda masuk Minangkabau. Tapi bagi orang Belanda, meminum rebusan air daun kopi yang disangai itu hanyalah minuman inlander (pribumi) dan mereka menyimpulkan hal itu dilakukan karena kebodohan saja , sehingga mereka mengejek nenek moyang kita dengan istilah Melayu Kopi Daun.
Setelah Indonesia Merdeka, istilah Melayu Kopi Daun di Sumatera Barat seperti terngiang ngiang di telinga warga, walaupun kebiasaan minum kopi daun sudah mulai ditinggalkan sebagian warga.
Tapi di kawasan Darek, Tanah Datar, Agam dan 50 Kota, minum kopi daun menjadi tradisi, bahkan menjadi kuliner khas. Amai-amai di pedalaman Minangkabu itu sigap menghidangkan rebus daun kopi yang disebut kawa daun atau minum kawa, lengkap dengan ketan dan goreng pisang, jika ada anak dan cucu pulang dari rantau.