“Hal ini akan dipertegas. Kita akan perbaiki dan pertajam pasal-pasalnya,” paparnya.
“Saya sudah baca DIM dari Dewan Pers. Ini bagus, enak, bisa diterjemahkan dengan mudah, memiliki kepastian hukum tidak multitafsir,” kata Ichsan yang juga dibenarkan oleh Johan Budi.
Nah, dalam soal kerja jurnalistik ini, menurut Johan perlu diperjelas mengenai kerja jurnalistik.
Setelah berdiskusi dan disepakati oleh Dewan Pers dan FPDIP, yang dimaksud kerja jurnalistik adalah wartawan/jurnalis yang melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diatur dalam UU Pers no 40/1999, beserta turunannya, yakni Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan medianya terdaftar di Dewan Pers. Ini karena DP adalah lembaga yang mendapat amanah menjalankan UU Pers.
Dengan reformulasi mengenai kerja-kerja jurnalistik ini, baik FPDIP dan Dewan Pers menilai terobosan tersebut menarik.
Johan mengingatkan, karena mepetnya waktu, ia minta perbaikan DIM dari DP masuk sebelum 16 Agustus 2022.
Sementara itu Arif Zulkifli memberikan contoh, dalam pasal 264 dalam RKUHP sebelumnya ada yang multitafsir.
Bunyinya: setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
“Padahal sekarang ini banyak berita breaking news. Itu belum lengkap. Bahaya kalau hal itu mengakibatkan wartawan menjadi terlalu self censorship. Makanya kita mengusulkan reformulasi di pasal tersebut,” kata Azul.
Sebelum mengakhiri pertemuan, Johan Budi atas nama FPDIP di Komisi 3 mengatakan berterima kasih telah mendapat masukan dari Dewan Pers yang bertanggung jawab terhadap masyarakat pers Indonesia.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa di Komisi 3 yang membahas hukum ada 9 komisi, FPDIP adalah salah satunya. Dia berharap DIM yang diperbarui sudah masuk sebelum 16 Agustus.