Dengan kukuhnya Islam sebagai agama dominan, maka tentu saja pelaksanaan syari’at Islam termasuk puasa Ramadhan sudah menjadi kultur baru dalam kehidupan masyarakat Islam Awal di Nusantara.
Untuk melihat kondisi ini, peneliti sejarah asal Jepang Takeshi Ito (2013) menyinggung tradisi menentukan awal Ramadhan di Kerajaan Aceh pada abad ke 17 menggunakan metode rukyah atau melihat bulan, bukan metode hisab (penghitungan kalender).
Frederick De Houtman (bukan Cornelis De Houtman) seorang utusan pemerintah Belanda di Aceh Juli 1599 dan menjadi tawanan di Aceh dimasa pemerintahan Sultan Saidil Mukammil (1588-1604) selama satu tahun, dalam catatannya mengungkapkan adanya upacara menyambut bulan suci Ramadhan di Kerajaan Aceh, yaitu kenduri makmeugang.
De Houtman menjadi saksi bahwa kenduri makmuegang untuk penyambutan Ramadhan dilaksanakan dari pusat pemerintahan di istana Sultan sampai ke gampong gampong.
Pada 15 Maret 1600 M, bertepatan 29 Ramadhan atau satu hari menjelang puasa, para ulama dan bangsawan mengenakan pakaian jubah putih memegang pedang dan perisai bersepuh emas menghadap Sultan.
Mungkin para pembesar kerajaan itu bermaaf-maafan dengan Sultan dan kerabat kerajaan. Tapi acara itu dilengkapi dengan kemeriahan dengan pemukulan gendang, tiupan terompet dan puncaknya melepaskan tembakan meriam ke tujuh pintu angin, sebagai tanda puasa dimulai esok harinya.
Petualang Eropa lainnya S De Weert menulis, tahun 1603 di Aceh anak anak dibawah 10 tahun dibolehkan berpuasa setengah hari.