Oleh : Melda Riani
Siang belum mau mengalah pada petang ketika puluhan pedagang takjil dan makanan lainnya mulai menggelar meja dagangannya di pinggir jalan raya Balai Gadang, Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Kamis (28/3). Di bulan ramadhan ini, setidaknya ada beberapa titik ‘pasar pabukoan’ yang ramai diserbu masyarakat di Kelurahan Balai Gadang. Salah satunya di kawasan Air Dingin, mulai dari Simpang Tampat hingga sekitar 50 meter panjangnya ke arah Tanjung Aur. Ada puluhan warga yang berjualan dadakan selama di bulan puasa ini, dan ada ratusan atau mungkin seribuan pembeli yang berjubel setiap sorenya hingga menimbulkan kemacetan.
Kami melewati pasar ‘takjil’ dadakan tersebut karena masih ada dua jam lebih menjelang waktu berbuka dan kebetulan ada keperluan membeli bahan kue ke Simpang Tabing. Namun baru separuh perjalanan, saya ingat tidak membawa uang cash yang memadai untuk berbelanja. Dompet beserta kartu ATM pun ketinggalan di rumah. Hanya ada handphone dan satu lembar uang seratus ribu-an di kantong. Tinggal handphone satu-satunya harapan yang bisa digunakan untuk berbelanja. Beruntung, toko bahan kue yang dituju ternyata menerima pembayaran dengan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) Bank Nagari. Sangat terasa betapa QRIS membantu saat dibutuhkan.
Kembali ke ‘pasa pabukoan’ di Air Dingin untuk berbelanja takjil, uang cash satu-satunya di kantong terpaksa digunakan seberapa cukup untuk berbelanja. Karena belum satupun pedagang yang menerima pembayaran dengan QRIS. Pembeli pun mau tak mau membayar secara tunai setiap berbelanja karena belum adanya layanan QRIS, walaupun mungkin ada juga yang terniat untuk membayar dengan QRIS.
Dua minggu sebelumnya, saya sempat singgah untuk membeli obat di Pasar Sincincin Kabupaten Padang Pariaman yang baru saja diluncurkan sebagai pasar tradisional Siap Qris pada 1 Maret 2024. Vina, kasir di Apotek Raisa di pasar itu dengan senang hati menerima pembayaran dengan QRIS Bank Nagari. Ia mengaku cukup banyak melayani pembeli yang melakukan transaksi dengan QRIS walaupun tak disebutkan secara rinci.
Tak jauh dari sana, sebuah toko ponsel terlihat memampangkan barcode pembayaran QRIS. Namun sayangnya, ternyata pemilik mengaku tak lagi menerima pembayaran QRIS dengan alasan rekeningnya tak lagi aktif. Memasuki pasar lebih jauh ke dalam, seorang pedagang barang harian juga mengaku belum menerima pembayaran dengan QRIS. Menurutnya, masyarakat kampung lebih suka membayar secara langsung atau tunai, karena itu iapun memilih belum memasang QRIS meskipun pasar itu sudah diproklamirkan sebagai ‘Pasar Siap QRIS’. Kondisi yang sama terlihat pada pedagang-pedagang sembako dan bahan sayuran, seperti pedagang cabe, sayuran, ayam dan lainnya. Barcode hanya terlihat pada toko-toko cukup besar seperti toko emas dan grosiran.
Di lokasi lain yang merupakan kampung QRIS pertama di Sumatera Barat, yakni di Los Lambuang Kurai Taji, Kecamatan Pariaman Selatan, Rosita (40), seorang warga sekitar yang biasa berbelanja di sana pun mengaku lebih sering memakai uang cash ketimbang memakai cashless. “Mungkin kalau pengunjung dari luar daerah ada yang pakai QRIS, tapi kalau warga sekitar yang berbelanja lebih suka bayar langsung tunai,” katanya kepada topsatu.com, Minggu (31/3).
Penggunaan QRIS di pasar tradisional sepertinya masih jadi tantangan bagi Bank Nagari dan bank lainnya. Perlu upaya cukup keras dalam memassifkan penggunaan uang digital, sebagaimana tujuan penggunaan QRIS oleh pemerintah yaitu untuk memudahkan proses transaksi serta mengintegrasikan seluruh metode pembayaran non-tunai di wilayah Indonesia.
Meski demikian, upaya Bank Nagari untuk mengedukasi pedagang kecil dan pedagang di pasar tradisional menggunakan QRIS patut diapresiasi. Setelah Los Lambuang Pasar Kurai Taji, beberapa pasar tradisional dijadikan Pasar Siap QRIS, di antaranya Pasar Raya Padang, Pasar Lubuk Buaya, Pasar Siteba Padang, Pasar Atas Bukittinggi, Pasar Aur Kuning, Pasar Bawah Bukittinggi, dan Pasar Serikat C Batusangkar.
Masyarakat yang melek literasi keuangan pada dasarnya sangat berharap pembayaran QRIS sudah dapat dilakukan dimana-mana, sehingga mereka tidak perlu membawa uang cash kemana-mana. Selain itu, kembalian uang belanja berupa koin seratusan dan dua ratus rupiah sering hanya memenuhkan dompet namun tidak bisa digunakan di warung-warung. Uang koin itu biasanya merupakan kembalian saat berbelanja di swalayan atau supermarket. Namun, koin seratus dan dua ratus rupiah tidak diterima saat berbelanja di toko-toko dan pedagang kecil.
“Jika belanja dengan cashless, koin kembalian belanja ini tentu tidak akan menjadi masalah,” kata Yunita (39), seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Padang.
Yunita mengaku tidak banyak membawa uang tunai kemana-mana. Selagi tempat belanja bisa menerima pembayaran melalui QRIS atau uang elektronik, ia akan menggunakannya.