DHARMASRAYA – Guna memutus mata rantai pengangguran di Kabupaten Dharmasraya, pada tahun 2022 mendatang Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Transnaker) setempat, menargetkan untuk mengirim 100 orang angkatan kerja produktif untuk dipekerjakan di negara Jepang.
Kepala Dinas Transnaker Kabupaten Dharmasraya, Marten Yunus mengatakan, langkah tersebut merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi kelompok usia produktif dengan keahlian. Hal ini tertuang dalam kesepakatan pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang untuk menjalin kerja sama di bidang penempatan tenaga kerja berketrampilan spesifik atau Spesified Skilled Worker (SSW) untuk bekerja di Jepang.
“Dalam kesepakatan tersebut negara tujuan membutuhkan tenaga kerja terampil dari berbagai negara termasuk Indonesia sebanyak hampir 350 ribu orang. Ini akibat adanya problem populasi berupa shortage tenaga kerja dan aging society atau tingginya jumlah kelompok masyarakat lanjut usia di negara itu,” ungkap Marten Yunus, Senin ( 4/4/2021).
Lanjut Marten, pihak Pemerintah Jepang menerbitkan regulasi keimigrasian berupa residential status baru bagi tenaga kerja asing yang akan bekerja di negaranya. Dengan residential status tersebut Pemerintah Jepang membuka peluang kerja pada 14 sektor bagi tenaga kerja asing SSW yang selama ini tidak dibuka penempatannya karena lebih mengutamakan serapan ketenagakerjaan secara lokal.
Untuk memenuhi target tersebut, pihak Dinas Transnaker Dharmasraya mengupayakan untuk memberi pelatihan keterampilan berbahasa Jepang bagi angkatan kerja yang memiliki minat dan kemampuan untuk dipekerjakan. Tahap pertama, diproyeksikan bagi para angkatan kerja bidang kesehatan dan kuliner karena dua sektor tersebut dinilai lebih berpeluang untuk diisi sesuai dengan ketersediaan angkatan kerja di negara itu.
Menurutnya, kendala utama yang dihadapi pihaknya untuk mencapai target tersebut adalah mahalnya biaya pelatihan keterampilan berbahasa Jepang yang harus ditanggung oleh angkatan kerja.
“Untuk satu paket pelatihan dibutuhkan dana sebesar Rp5 juta per orang, dengan masa pelatihan selama tiga bulan, ” terangnya.
Untuk menyiasati agar serapan materi pelatihan bisa maksimal, sebut Marten, pihaknya mengutus satu orang instruktur bahasa asing di lingkungan Balai Latihan Kerja (BLK) setempat, untuk memperdalam keilmuan Sastra Jepang di Yogyakarta.
Sehingga, instruktur tersebut bisa menularkan keilmuan yang dimiliki bagi angkatan kerja melalui paket pelatihan prakerja yang diselenggarakan pihaknya.
Disinggung tentang pembiayaan pelatihan, ia menegaskan tidak bisa terlalu bergantung pada dana kas daerah. Pihaknya selama ini mengupayakan sumber pendanaan dari pihak kementerian terkait.
“Khusus untuk penyiapan angkatan kerja yang diproyeksikan ke Jepang, kami berupaya untuk mencarikan dana talangan pelatihan dari beberapa elemen seperti Baznas dan Pemerintah Nagari melalui kegiatan peningkatan sumber daya manusia dengan sistem tanggung renteng dan akan dibayarkan bertahap setelah yang bersangkutan mulai bekerja di negara tujuan, ” terangnya.
Pola itu, kata Marten menjelaskan, sangat mungkin dilakukan karena sistem penggajian para tenaga kerja tersebut dibayarkan oleh pemerintah melalui lembaga yang ditunjuk, sehingga bisa dilakukan pemotongan gaji dengan besaran tertentu tanpa mengorbankan hak-hak mereka sebagai pekerja.