3. Penulis naskah akademik RUU HIP juga mengarahkan bahwa makna dari terminologi Ketuhanan yang Berkebudayaan yang disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 adalah bangsa Indonesia dalam beragama tidak boleh egois. Untuk mendukung pemaknaan itu, penulis naskah akademik (halaman 23) juga mengutip pidato Soekarno yang selengkapnya berbunyi: ‘Pada prinsipnya segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoism agama’.
Lagi-lagi kutipan ini tidak utuh. Serupa dengan cara mengutip bagian pidato Soekarno ketika menjelaskan terminolog Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kata Soekarno di ujung paragraf pidatonya itu: ‘Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan’. Makna negara yang bertuhan yang disampaikan Soekarno terdapat pada kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip ketuhanan adalah: ‘Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya’.
Pidato Soekarno pada bagian ini sebenarnya sangat jelas bahwa beliau menginginkan negara merdeka yang akan didirikan adalah negara yang bangsanya beragama sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Di tangan penulis akademik, karena pidato Soekarno tidak dikutip secara utuh, diksi “tidak egoism agama” bisa bermakna lain. Misalnya, agama itu sama.
Jika memang benar ini maksudnya, bagi sebagian besar umat beragama (terutama umat Islam) pikiran ini sangat tidak pantas. Semua agama yang diakui negara pasti tidak sama dalam pandangan para pemeluknya masing-masing. Bagi pemeluk Islam sudah jelas panduannya di dalam Surat Al-kafirun ayat 6: ‘untukmu agamamu, dan untukulah agamaku’.
4. Berangkat dari naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, RUU HIP kemudian memuat materi yang bertentangan dengan Konstitusi.
Di dalam Konstitusi (bagian Preambule) tertulis jelas bahwa dasar negara yang disepakati oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah Pancasila. Bukan Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 7 ayat 3 RUU.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bertepatan dengan hari disetujuinya konsep Pembukaan atau Mukaddimah UUD 1945 oleh BPUPK (22 Juni 1945, 75 tahun yang lalu), Saya mengimbau DPR sebagai inisiator RUU HIP untuk membuka kepada publik siapa saja yang menjadi penulis naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung manipulatif tersebut.
Dengan dibukanya informasi penting ini, akan membantu kita membuka kotak pandora RUU kontrovesial yang jika pembahasannya diteruskan dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.(*)
Penulis adalah : Legal Governance Specialist, Mengajar di Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan Ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.