Pada 2018, pemerintah menargetkan produksi minyak sekitar 800 ribu barel per hari. Namun, hingga akhir Juli, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa rata-rata produksi minyak masih di kisaran 773 ribu barel. Jumlah produksi ini jauh di bawah tahun lalu yang masih di angka 949 ribu barel per hari.
Fenomena Defisit inilah yang kemudian terjadi, di saat produksi minyak terus menurun, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia justru terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan populasi kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun mobil. Sebagai gambaran, penjualan mobil pada 2017 mencapai 1,079 juta unit, naik hampir 150 persen dalam 10 tahun atau rata-rata 10 persen per tahun.
Pada kurun yang sama, penjualan motor naik 33 persen, atau 3,3 persen per tahun. Di luar itu, PT KAI setiap tahun rata-rata mengkonsumsi 200 juta liter per tahun.
Pilihannya adalah mengurangi konsumsi atau mempertahankan konsumsi BBM tapi dengan campuran etanol (premium) atau biodiesel (solar). Pilihan pertama jelas tak masuk akal. Pertambahan jumlah penduduk sudah otomatis akan meningkatkan konsumsi energi, terutama bahan bakar minyak.
Bagaimana pun, BBM akan habis atau setidaknya harganya akan semakin mahal karena kian langka. Belakangan, Energi Baru Terbarukan muncul sebagai tambahan alternatif untuk anergi fosil. Karena itu, pemerintah wajib terus mendorong penggunaan energi baru terbarukan, termasuk bahan bakar nabati.
Fakta Energi Terbarukan
Indonesia sendiri menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential reform (IESR), Febby Tumiwa, seperti dikutip dari antaranews.com, memiliki potensi energi terbarukan sebesar 442,4 GigaWatt (GW). Dari jumlah itu, yang baru dimanfaatkan hanya dua persen saja.
Potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia mencakup energi surya sebesar 207,8 GW, energi air sebesar 75 GW, energi bayu sebesar 60,6 GW, bioenergi sebesar 32,6 GW, energi panas bumi sebesar 28,5 GW, dan arus laut sebesar 17,9 GW.
Pemerintah sendiri telah mencanangkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN). Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, peralihan sumber energi EBT ini diyakini sebagai solusi jitu menjawab tantangan global saat ini. Dimana EBT insyaAllah tidak habis kalau dipakai.
Sementara Program Manager for Sustainable Energy Partnership IESR, Marlistya Citraningrum, mengatakan Indonesia memang sudah harus beralih ke EBT. Menurutnya, salah satu risiko ekonomi bila Indonesia tidak memprioritaskan renewable sekarang dan memilih pembangkit fosil skala besar, adalah aset yang terbengkalai (stranded assets).
Risiko ini sangat mungkin muncul karena pengembangan teknologi EBT akan semakin cepat, sehingga mampu mereduksi biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan menjadi jauh lebih murah. Teknologi EBT seperti solar rooftop dan baterai (penyimpanan), juga memiliki peluang untuk menjadi teknologi disruptif untuk pembangkit fosil.