GGF Buktikan Sampah Bisa Jadi Sumber Daya Baru Bagi Perusahaan

Manajemen zero waste di GGF. (ist)

Eriandi

Belum banyak perusahaan di Indonesia yang sudah membuka mata akan pentingnya manajemen sampah dan limbah serta menerapkan prinsip ramah lingkungan dalam proses produksinya. Padahal, bumi punya keterbatasan. Bila perusahaan-perusahaan terus berproduksi tanpa mempedulikan sampah dan limbah hasil produksi mereka, akan banyak cost dan dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan.

Survei yang dilakukan GlobeScan Sustainability yang dirilis pada pertengahan Agustus 2020 menunjukkan, sampah dan sampah plastik masih menjadi sepuluh besar tantangan keberlanjutan di mata pakar. Survei itu menunjukkan urgensi terhadap isu pengelolaan sampah dan sampah plastik, terutama oleh perusahaan.

Jalal, seorang praktisi lingkungan yang juga pendiri A+ CSRIndonesia, saat webinar yang diadakan Great Giant Food (GGF), Kamis, 13 Agustus 2020 mengatakan, circular economy atau ekonomi sirkular merupakan solusi dari pengelolaan sampah perusahaan. Ekonomi sirkular merupakan sistem terbaik dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang menjaga daya dukung bumi dan menjadi dasar dari kesejahteraan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Perusahaan yang menerapkan ekonomi sirkular mengusung pembangunan berkelanjutan dengan mengelola sampah secara maksimal, bahkan zero waste alias meniadakan sampah.

Sayangnya, dalam laporan Circularity Gap 2020, hanya 8,6 persen perusahaan di dunia yang menerapkan ekonomi sirkular. Artinya, lebih dari 90 persen perusahaan-perusahaan di dunia masih menghasilkan sampah. Padahal, dua tahun lalu, angkanya berada di 9,1 persen, yang artinya perusahaan yang menerapkan ekonomi sirkular berkurang secara persentase. Adapun lima perusahaan yang dianggap terbaik dalam menerapkan keberlanjutan dengan menerapkan sirkularitas adalah Unilever, Patagonia, IKEA, Interface dan Natura.

Dikatakan Jalal, pada dasarnya konsep ekonomi dasar yang dilakukan manusia tidak melanggar sejauh pemenuhan sosial dasar belum terpenuhi dan batas lingkungan belum terlampaui. Namun kenyataannya, batas lingkungan sudah terlewati karena aktifitas manusia, seperti jejak karbon akibat pembukaan lahan dengan membakar, transportasi, pemanfaat bahan bakar oleh industri, dan lain-lain.

“Kita sekarang sedang terancam karena beban bumi yang tak lagi menunjang untuk kita hidup berkelanjutan,” katanya.

Jika ingin berkelanjutan, Jalal menyarankan agar perusahaan tidak membuat dampak negatif terhadap lingkungan serta menciptakan manfaat sosial bagi masyarakat sekitar. Jika telah membuat kerusakan, perusahaan harus mengembalikan lingkungan yang tadinya rusak menjadi lebih baik dari sebelumnya

Di Indonesia, menurutnya, wacana dan praktik ekonomi sirkular terus menguat sejak tiga tahun lalu. Salah satu perusahaan yang sudah komit dengan menerapkan ekonomi sirkular adalah Great Giant Food (GGF) yang berbasis di Lampung. Sedangkan dari sisi pemerintah, melalui kementerian Lingkungan Hidup saat ini tengah digodok aturan pengadaan ramah lingkungan.

Jalal mendorong perusahaan-perusahaan untuk segera menerapkan ekonomi sirkular. Semakin banyak perusahaan yang mengadopsi ekonomi sirkular, maka masalah sampah, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi, serta persoalan lingkungan dan sosial lainnya akan banyak teratasi.

“Kita harap GGF dan perusahaan yang benar-benar melihat ekonomi sirkular ini penting untuk menyebarluaskan kepada yang lainnya. Kita tidak punya cukup waktu untuk keberlanjutan umat manusia,” ujarnya.

Tentang GGF