Bagi Zaiyardam, mengenang HKM samahalnya dengan men-taddaburi kembali sosok salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, H Agus Salim. “HKM dalam karirnya di dunia kepemiluan, di mata saya, selalu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, seperti halnya H Agus Salim,” tegas Zaiyardam.
“Sebagai seorang anak muda, HKM tampak tak tergoda dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Dia tak punya rumah pribadi di Jakarta, saat jadi ketua KPU RI. Saya, mungkin satu-satunya orang yang tahu persis berapa isi tabungan HKM, di luar keluarganya. Jumlah tabungannya sangat kecil jika dipandang dengan kacamata jabatannya yang begitu penting di negara ini,” ungkap Zaiyardam.
Hal senada dikatakan Sigit Pamungkas yang jadi narasumber pertama. Jelang periode jabatan berakhir, ungkap Sigit, dirinya sengaja bertanya ke almarhum, apakah akan ikut mencalon lagi sebagai komisioner. Saat itu, terangnya, almarhum tegas menyatakan, takan akan ikut lagi.
“Saat itu, almarhum menyatakan akan berbisnis,” ungkapnya. “Tadi siang, saya bertemu seorang anak muda yang tengah merintis bisnis. Omset usahanya tak begitu besar. Saat pertemuan itu, saya membayangkan pencapaian bisnis anak muda itu, merupakan posisi yang akan dicapai almarhum dengan bisnis yang akan dirintisnya, jika masih hidup saat ini,” ungkap Sigit.
Sementara, Eka Vidya Putra mengisahkan perjalanan aktivis kemahasiswaan HKM. Dimulai dari momen jadi santri di Islamic Center milik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumbar, masuk HMI, aktif dikegiatan intra kampus hingga jadi presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di 1998 hingga memasuki dunia kepemiluan.
“HKM terbilang orang beruntung. Dia berada di puncak karir sebagai aktivis mahasiswa, presiden BEM Unand, pada momen peralihan sistem ketatanegaraan kita yang ditandai dengan Reformasi 1998. Saat itu, dia terlibat aktif dalam pergerakan mahasiswa. Ini lah salah satu momentum yang membentuk karakternya dikemudian hari,” nilai Eka Vidya Putra.
Sedangkan Viryan Azis, mengaku, tak begitu dekat almarhum. Dirinya yang saat itu masih komisioner KPU Kalimantan Barat, mengenal HKM sebatas hubungan kerja.
“Saya melihat, almarhum semasa hidupnya pantas dijadikan teladan bagi generasi muda. Beliau sosok yang selalu menjaga moralitas serta berkomitmen dan konsisten. Tak salah, negara menganugerahinya tanda jasa Bintang Penegak Demokrasi Utama,” ungkap Viryan.
Nur Hidayat Sardini (NHS) yang baru bergabung setelah satu setengah jam webinar berlangsung mengungkapkan, HKM selama memimpin KPU bukannya tanpa teguran dari DKPP. Karena teguran demi teguran terus dilahirkan DKPP terhadap KPU, HKM akhirnya sampai pada titik gerah juga.
Pada satu kesempatan, terang NHS, almarhum mengatakan dengan nada tegas, “Kami tak bisa bekerja dengan tenang, jika KPU terlalu banyak mendapat teguran dari DKPP. Jika besok-besok saya dapat teguran lagi, saya mundur dari KPU. Tak elok bagi nama baik lembaga, jika pimpinannya banyak dapat teguran DKPP.”
Pernyataan HKM inilah, ungkap NHS, yang kemudian jadi latar belakang terbitnya buku yang dieditorinya, berjudul “Mengeluarkan Pemilu dari Lorong Gelap, Mengenang Husni Kamil Manik 1975-2016.” Buku setebal 734 halaman itu terdiri atas 6 bagian, 12 bab dan ditulis 117 penulis.
“Haul keempat ini, merupakan momentum yang tepat untuk menerbitkan edisi kedua dari buku Mengeluarkan Pemilu dari Lorong Gelap itu. Karena, masih banyak rekam jejak almarhum yang belum terungkap ke publik. Dimana, rekam jejak itu pantas diteladani anak-anak muda kita yang akan jadi generasi penerus bangsa,” ungkap NHS dalam haul virtual yang diikuti sekitar 150 partisipan dari ujung Aceh hingga Papua itu.(rls/benk)