Jakarta – Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, dalam rapat Komite I DPD RI bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Wakil Menteri Dalam Negeri Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, Rabu, 10 Desember 2024, mengungkapkan kritik tajam terkait lemahnya implementasi otonomi daerah di Indonesia.
Ia menyoroti bagaimana provinsi-provinsi kaya justru menjadi daerah yang paling bergantung pada keuangan dari pemerintah pusat.
“Data menunjukkan 10 provinsi terkaya di republik ini berada di posisi paling buncit dalam hal kemandirian fiskal. Artinya, ada masalah besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Undang-Undang Minerba, misalnya, membuat hak-hak daerah tergerus karena pengelolaan sumber daya alam sepenuhnya diambil alih oleh pusat,” tegas Penrad.
Ia juga mengkritik kebijakan yang dihasilkan oleh UU Cipta Kerja, yang disebutnya memangkas kewenangan daerah dan memperkuat sentralisasi.
“Pemerintah secara sistemik mendesain ketergantungan daerah dengan regulasi-regulasi yang ada. Harmonisasi undang-undang otonomi daerah dengan berbagai regulasi lain, termasuk UU No. 23 Tahun 2014,” ujarnya.
Penrad juga menyoroti pentingnya mempercepat pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Ia menyebut, jika penataan otonomi daerah dilakukan dengan baik dan daerah diberi kewenangan yang adil, maka DOB tidak akan menjadi beban bagi pemerintah pusat.
“Daerah-daerah yang mengajukan DOB banyak yang sebenarnya memiliki potensi besar, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dengan pengelolaan yang baik, mereka bisa mandiri,” tambahnya.
Ia menyampaikan itu mengacu pada audiensi yang dilakukan dengan Forum Koordinasi Nasional Percepatan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Seluruh Indonesia (FORKONAS PP DOB), Senin, 9 Desember 2024.
Penrad juga mengangkat isu status wilayah administrasi desa yang hingga kini masih berstatus kawasan hutan.
Ia menyebut hampir 60 persen wilayah administratif di Indonesia berada di kawasan hutan, termasuk 33 ribu dari total 77 ribu desa di Indonesia.
“Desa-desa ini secara administrasi berada di bawah Kemendagri, tetapi status wilayahnya di bawah Kementerian Kehutanan. Ini menjadi persoalan besar karena banyak desa, termasuk kantor kepala desa, secara hukum masih dianggap berada di hutan. Bagaimana kita tidak malu dengan kondisi ini?” kritiknya.