“Toleransi dan gotong royong dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah modal utama mempersatukan bangsa,” kata Amiruddin. Agar dapat melaksanakan praktik Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia harus memahami arti penting dari Pancasila, yang dibumikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Hal itu berlaku juga untuk ormas-ormas serta parpol yang paling mewakili masyarakat,” paparnya.
Sementara itu Ketua DPP LDII yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono mengatakan gotong-royong yang terkandung dalam Pancasila adalah pertanda bangsa yang beradab.
“Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang beradab jika tidak memiliki kemanusiaan, kebersamaan, dan tidak memiliki kesadaran untuk bergotong royong. Lebih lanjut ia mengatakan Indonesia rapuh, jika tanpa Pancasila.
Singgih juga menjelaskan posisi strategis sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai pondasi, bukan sebagai ‘bingkai’ dalam konstruksi keindonesiaan. Menurutnya, jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan bingkai atau wadah yang akan melahirkan agama tertentu, maka menurutnya ini akan menjadi bibit konflik yang berkepanjangan.
“Karena negara kita adalah negara yang plural, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan. Maka agama dijadikan sebagai pondasi, bukan sebagai wadah,” kata Singgih. Sementara, pembingkai konstruksi keindonesiaan dalam Pancasila adalah sila ‘Persatuan Indonesia’ atau sila ketiga.
Sehingga rumusannya, apapun agama yang dipeluk yang sesuai dengan sila pertama, bermacam aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan berdasarkan sila kedua, berbagai bentuk demokrasi yang dijalankan sesuai sila keempat, serta model keadilan yang dibayangkan seperti apa yang dimaksud sila kelima, poinnya adalah harus dalam bingkai Persatuan Indonesia, “Jadi tetap dalam bingkai NKRI (sila yang ketiga),” kata Singgih.
Jika sila pertama dijadikan sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, maka sila kedua (kemanusiaan) dan sila keempat (demokrasi) dijadikan sebagai semangat serta cara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Singgih membuat kristalisasi pandangan LDII terhadap Pancasila, yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh. Pertama, Indonesia akan rapuh jika tidak punya pondasi religiusitas yang kuat, sebagaimana yang termaktub dalam sila pertama Pancasila, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Kedua, bangsa Indonesia akan tercerai berai jika tidak ada bingkai yang jelas, seperti yang dirumuskan dalam sila ketiga, yang berbunyi ‘Persatuan Indonesia’. Ketiga, bangsa Indonesia akan kehilangan arah, jika tidak mempunyai tujuan yang jelas, seperti yang dirumuskan di sila kelima, yang bunyinya ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,’.
*Ada yang Mulai Meninggalkan Pancasila*