Ekonom senior Faisal Basri menganggap Ibu Kota Nusantara belum bisa menjawab, setidaknya lima hal yang menjadi masalah prioritas di Indonesia. Antaranya,
pemerintah yang memprioritaskan pembangunan ibu kota negara dia nilai mengesampingkan arah kebijakan pembangunan usai pandemi. Padahal, di banyak negara justru fokusnya arah pembangunan yang sesuai dengan kondisi saat ini.
“Jadi banyak buku ekonomi, temanya ekonomi pascacovid, karena cara kerja berbeda, hubungan sosial berbeda, interaksi ekonomi berbeda, ada deglobalisasi, ketahanan pangan dan sebagainya, membawa banyak negara berupaya melakukan transformasi ekonomi untuk menghadapi tantangan baru,” kata Faisal dalam Public Expose RUU IKN oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Selasa (18/1) seperti dikutip CNN Indonesia.
Entah apa cita-cita Jokowi
Entah apa cita-cita atau apa yang menjadi kemarahan besar Jokowi dan rezimnya pada Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Padahal, Jakarta kota bersejarah Indonesia yang dikenal dunia ratusan tahun. Sejarah kota Jakarta sudah terukir jauh sebelum Indonesia merdeka.
Hampir semua momentum yang mencatat perjalanan sejarah bangsa Indonesia terjadi di Jakarta. Dari Proklamasi RI, reformasi, pembubaran PKI, dan penobatan tujuh Presiden RI, termasuk Jokowi. Bahkan Jokowi sendiri memulai jejak kepemimpinannya secara Nasional di Jakarta, dengan menjadi Gubernur DKI, walau cuma dua tahun.
Ancaman banjir, kepadatan penduduk dan kemacetan yang parah rasanya tidak cukup alasan untuk pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan. Fenomena Ibu Kota negara seluruh dunia mengalami seperti keadaan Jakarta. Fenomena itu menandai dimulainya perubahan iklim (climate change). Bahkan di negara yang berteknologi maju sekalipun.
Presiden pertama RI Soekarno, juga Presiden Soeharto yang pernah berkuasa puluhan tahun dengan kekuatan politik dan sumber daya absolut, toh tidak kesampaian memindahkan Ibu Kota. Karena pindah Ibu Kota negara bukan hanya bermodal kekuatan politik dan ekonomi. Faktor budaya justru menjadi pertimbangan utama.
Bagi hampir 12 juta warganya, segala kelemahan Jakarta sudah diterima sebagai konsekuensi logis peradaban Ibu Kota. Kondisi itu sudah diterima seperti “takdir”. Kompensasinya, tiada kota seperti Jakarta : membuka peluang siapapun untuk memperbaiki nasib kehidupannya. Pertarungan merebut hidup sehari-hari adalah bagian yang merangsang daya hidup semakin hidup. Apa yang tidak ada di Jakarta. Di sini anak singkong bisa bermetamorfosis menjadi konglomerat. Hanya di Jakarta, di balik nasibnya yang kelam, pembantu bisa naik mobil mewah ke pasar diantar supir majikan.
Jumlah penduduk yang besar, justru menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi warganya. Lihat saja. Masyarakat lapisan bawah tidak peduli banjir rutin datang, tinggal di bantaran kali, dan diusir berkali-kali tidak menggoyahkan keyakinannya. Yang penting tinggal di Jakarta.
Saya khawatir masalah kultur itu juga yang menyebabkan resistensi dan dominannya nada sumbang merespons Ibu Kota Nusantara. Kuat sekali kesan Ibu Kota Negara yang baru itu bukan yang dirindukan masyarakat banyak di seluruh Indonesia. Saya sempat membaca artikel yang menyingkap sejarah perpindahan Ibu Kota Negara di dunia. Jarang yang berhasil sesuai yang diharapkan, kalau tak mau mengatakan gagal. Canberra di Australia, Rio De Janeiro di Brazil, Washington DC di AS, Putrajaya di Malaysia. Dan, Nay Pyi Taw ( baca Naypyidaw) adalah ibu kota nasional Myanmar yang sekarang dicatat gagal total. Hanya memenuhi ambisi sesaat junta militer masa itu. Ibu Kota baru Myamar itu berlokasi di Desa Kyatpyae, Kota Pyinmana, Provinsi Mandalay luas Nay Pyi Taw 272,371 sq mi (7.054,37 km2).
Kyat Pyae dalam bahasa Myanmar berarti ‘lari di bawah perjuangan’. Naypyitaw berarti ‘Kota/Istana Kerajaan’, tetapi juga diartikan sebagai ‘singgasana raja'”.
Kegiatan administrasi ibu kota Myanmar secara resmi dipindahkan ke sebuah lahan kosong sekitar dua mil barat Pyinmana pada 6 November 2005.
Naypyitaw kurang lebih 320 kilometer di sebelah utara Yangon. Nama resmi ibu kota diumumkan pada saat Hari Angkatan Bersenjata Myanmar (Armed Forces Day) pada Maret 2006.
Nay Pyi Taw kini dijuluki Kota Hantu. Sejak diresmikan hingga sekarang kota itu tak menampakkan geliat sesuai statusnya sebagai Ibu Kota Negara Myanmar. Sembilan tahun lalu, saya pernah menginap semalam di kota itu. Bagunannya menakjubkan besar-besar. Desainnya modern. Begitu juga jalan-jalannya yang sempat kami lalui dari bandara ke kota, dan sebaliknya, super lebar. Kelas highway.
Saya berempat dengan Gita Wirjawan, Peter F Gontha dan pemred Majalah Tempo Wahyu Muryadi ke Myanmar waktu itu memenuhi undangan pengusaha John Riady yang menjadi host jamuan pagi peserta konferensi World Economic Forum 2013. Tapi bukan itu yang mau saya cerita.
Berangkat malam dari bandara Halim Perdana Kusuma, kami landing di bandara Nay Pyi Taw lewat tengah malam. Setelah pengurusan administrasi visa on arrival, praktis kami baru masuk kamar hotel pukul 2 dini hari. Peter yang mengantar mengingatkan akan menjemput pukul 6 pagi untuk ke tempat acara.
Mungkin karena kecapekan, kami terlelap. Peter sulit menghubungi kami yang baru terjaga ketika pintu kamar digedor keras.
“No problem. Tenang saja, saya tunggu. Saya sudah senang mendapati kalian dalam kondisi aman pagi ini,” katanya.
Hah?!!
“Saya sempat khawatir kalian dimangsa ular atau binatang buas,” sambungnya. Serius. Baru ngeh paginya, hotel kami memang berada di tengah hutan di Ibu Kota Baru Myamar itu.
Sampai sekarang Nay Pyi Taw sepi. Protokoler Perlindungan WNI KBRI Yangon, Cahya Pamengku Aji, yang diwawancarai CNN Indonesia Selasa, (18/1) berbagi cerita tentang sunyinya kota itu di tengah pembangunan infrastruktur luar biasa kota itu.
“Sejauh ini memang masih sepi karena hanya berfungsi sebagai pusat administratif pemerintahan Myanmar. Pusat Bisnis dan Industri tetap di Yangon,” kata Cahya Pamengku Aji, saat dihubungi kepada CNNIndonesia.com.
Suasana ibu kota yang sepi bahkan sudah terasa jauh sebelum pandemi Covid-19 dan kudeta oleh militer Myanmar pada Februari 2021.
Kantor kedutaan Indonesia, menurut Aji, juga masih bertahan di Yangon. Hanya ada beberapa kantor penghubung yang buka di Naypyidaw.
“Tapi relatif hanya penghuni Naypyidaw di atas yang beraktivitas. Apalagi saat ini ada pembatasan, hanya yang memiliki undangan dan izin yang dapat berkunjung,” papar Aji.
Situs perjalanan, Scandasia, juga menggambarkan kota itu bak kota hantu.
Penulisnya baru-baru ini yang mengunjungi kota tersebut, mengelilingi kota selama 45 menit. Dia juga juga membandingkan Canberra yang hanya berisi kantor kedutaan dan London. Di Naypyidaw, nyaris tak ada orang-orang beraktivitas di luar ruangan.
Hotel yang memiliki 200 kamar pun tampak sepi dari pengunjung.
The Guardian pernah melaporkan pula kondisi ini. Jika berkendara di Naypyidaw seseorang akan lupa bahwa ia sedang berada di Myanmar.
Di kedua sisi jalan, tampak deretan gedung-gedung raksasa yang tak berujung, hotel bergaya villa, dan pusat perbelanjaan tampak seperti jatuh dari langit, semuanya dicat dengan warna-warna pastel yang lembut: pink muda, biru muda, dan krem.
Jalan-jalan baru diaspal dan dipagari dengan bunga-bunga dan semak-semak yang dipangkas dengan hati-hati. Bundaran yang ditata dengan cermat menampilkan patung bunga yang besar.
Begitulah nasib Nay Py Taw yang hanya memenuhi ambisi pemimpinnya. Bukan kebutuhan rakyatnya. Mudah-mudahan IKN Nusantara tidak bernasib sama : Ibu Kota Baru yang tidak dirindukan. (*)