Saya yang bertubuh imun rentan ini, sudah berhari-hari dirawat di sini. Masuk ICU, keluar, berangsur sehat. Tubuh ini memang rentan. Sering demam, pernah malaria, pernah typus, lelah saja demam. Berpanas-panas saja demam, kena hujan saja demam. Manusia demam. Ini makanan empuk corona. Yang terjadi? Saya berangsur pulih. Mukjizat Tuhan.
Tetap Positif
Masih positif covid. Entah hari ke berapa saya diswab oleh dokter. Ya Allah, masih positif. Padahal sudah menunggu hasilnya dua hari. Udara pakai slang masih ke hidung. Batuk masih memukul dada. Obat segenggam sekali makan. Infus bertali-tali masih tergantung. Apakah saya akan sehat?
Kata orang, jika positif covid dan Anda punya penyakit suka demam, tubuhnya rentan seperti saya, biasanya sulit ditolong. Saya lawan asumsi itu, saya harus sehat. Saya segera hubungi Mama yang saat itu berada di Payakumbuh. Etek juga. Saya menangis minta maaf dan tangis mama, ternyata membuat saya tegar. Mama yang dijemput si uda, lalu sampai di Jakarta. Mama mengawal saya dengan doa-doanya.
Alhamdulillah empat hari kemudian, hasil swab negatif. Saya sudah negatif, tapi ini corona. Corona itu, menikam jantung manusia. Membuat sarang di sana, melilitnya. Hingganya dokter punya protokol, saya harus swab sekali lagi, untuk mengkonfirmasi bahwa saya sudah sehat dan bebas covid.
PSBB ke Dua
Menunggu hasil swab kedua rasanya menanti pengumuman kelulusan hidup. Bahkan untuk melakukan swab ke dua harus direntang 10 hari dari swab pertama. Lama, dan saya mulai bosan. Perawatan saya memang beda dengan pasien yang pernah saya lihat di laman-laman medsos. Jangankan berjemur matahari atau olahraga, saya bahkan tak bisa turun dari ranjang.
Hingga di suatu hari, jadwal swab kedua tiba-tiba dipercepat. Kejutan tak sampai di situ, esoknya saya diminta agar pulang saja. Diisolasi di rumah sambil menunggu hasil swab yang akan dikirimkan via email. “Maaf ibu Vinna. Gelombang kedua ini menyebabkan semua rumah sakit kewalahan menerima pasien covid. Semuanya menumpuk di IGD dan menunggu ruang inap kosong. Jadi kita minta ibu siap kemas-kemas ya, malam ini bisa pulang,” kata dokter jaga ditemani dua suster yang hanya diam saat saya mengatakan keberatan.
Dengan hati yang rusuh saya kembali menghubungi “orang dalam”. Dia kemudian memberikan nomor direktur rumah sakit. Tidaklah mungkin saya pulang dengan tubuh yang lemah dan belum dapat kepastian sudah bersih covid atau tidak. “Maaf ya ibu. Saya hubungi dokter dan kita pastikan ibu sudah terima swab negatif kedua, baru dirumahkan,” kata direktur wanita itu.
Saat menunggu itu beberapa teman mengirim link berita membludaknya pasien covid di Jakarta. Ada juga video ramainya antrian pasien masuk wisma atlet. Bahkan menggunakan bus sekolah. Lima belas hari lalu saja saya kewalahan mencari rumah sakit, kini tak terbayang betapa sengkarutnya situasi. Ah, saya terjebak dalam waktu yang salah dengan penyakit yang salah.