Jalan panjang yang harus dilalui korban dalam proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual juga dipaparkan jurnalis lainnya, termasuk minimnya keberpihakan aparat penegak hukum (APH) kepada korban, sulitnya mencari bukti dan saksi dalam kasus tersebut, banyaknya kasus kekerasan seksual yang akhirnya diselesaikan dengan damai secara adat istiadat seperti yang terjadi di Papua, hingga pengalaman jurnalis di Aceh yang meliput banyaknya kasus kekerasan yang diselesaikan tidak dengan hukum positif melainkan dengan hukum qanon jinayah.
“Qanon ini tidak melindungi korban sepenuhnya, karena di sini untuk menjerat pelaku, penegak hukum hanya memberikan sanksi cambuk, pemotongan kurungan. Berbeda kalau penegak hukum menggunakan hukum positif yang tentunya lebih berpihak kepada korban,” ujar Nurmala dari Puja TV, FJPI Aceh.
Menanggapi hal ini, Diah Pitaloka (Anggota DPR RI/PDI Perjuangan) mengatakan, saat ini DPR RI masih terus berupaya untuk segera mensahkan RUU TPKS.
“RUU ini akan disidangkan di awal masa sidang berikutnya, kita tidak kehilangan waktu, RUU ini akan tetap dibahas di paripurna inisiatif DPR, soal jadwal ini hanya menyangkut prosedur normatif saja bukan menyangkut komitmen DPR untuk mensahkan bukan masuk persoalan untuk menggagalkannya,” kata Diah.
Diah juga menyebutkan bahwa dalam RUU TPKS ini harus dikawal bersama, karena di dalamnya menjawab hambatan-hambatan proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi, karena dalam RUU TPKS ini termasuk diatur tentang perluasan mengenai alat bukti juga saksi sehingga lebih berkeadilan kepada korban.
Desy Ratnasari (Anggota DPR RI/PAN) juga menyatakan komitmen diri dan partainya untuk segera mengesahkan RUU TPKS.
“Sikap pribadi saya tentunya akan mempengaruhi pimpinan fraksi dan membuat mereka juga berpikir tentang urgensinya UU ini untuk disahkan sehingga dapat melindungi korban,” kata Desy.
Di sisi lain, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, perlu untuk diingat bahwa jika RUU TPKS ini sudah disahkan bukan berarti kasus kekerasan seksual akan menurun, malah akan meningkat karena korban berkeyakinan sudah ada hukum yang berkeadilan. Untuk itu, diperlukan kesiapan infrastruktur pelayanan kasus-kasus kekerasan seksual untuk mendukung keberadaan UU TPKS ke depan.
“Kita harus antisipasi infrastruktur pelayanannya, karena saya yakin akan semakin banyak korban yang melapor. Makanya infrastrukturnya harus disiapkan, karena status darurat kekerasan seksual itu bukan hanya soal laporan yang naik, tapi kemampuan daya dukung menangani sangat terbatas, hampir tidak bisa menampung dan menyikapi kasus yang ada, termasuk mekanisme pencegahan dan pengawasannya ini juga harus disiapkan,” jelas Andy.
Sementara aparat penegak hukum melalui Kompol Ema Rahmawati, SIK (Tipidum Bareskrim Polri) dan Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak/ KemenPPPA) berkomitmen untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, sehingga kasus-kasus kekerasan di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan diharapkan tidak terulang lagi. rilis