Jurnalis & Politik Praktis

(Disampaikan dalam Diskusi Forum Pemred, Jumat, 16 Juni 2023)

Sebab, masih banyak di antara jurnalis dan bahkan media pers terlibat jauh cawe-cawe dalam pesta itu.Baik sebagai pemain untuk ikut merebut kekuasaan maupun manfaat lainnya. Dikhawatirkan terjebak pula pada kampanye hitam soal jargon politik identitas yang akan membuat bangsa terpuruk. Berpotensi hancur berkeping keping, bukan hanya terbelah.

Sejak Pancasila diterima sebagai falsafah bangsa, dan diperkuat oleh penerimaannya sebagai satu-satunya asas dalam segala kehidupan bangsa, di zaman Orde Baru, praktis urusan itu sebenarnya sudah selesai. Tapi Pemilu lalu didengung-dengungkan sebagai “jualan baru” untuk memojokkan satu golongan masyarakat.

Dimana letak kesalahannya jika saudara kita menggunakan nilai- nilai Islam dalam kehidupan berbangsa. Sebagai nilai yang menginspirasi. Sama keakraban kita pada kearifan suku bangsa di Tanah Air. Seperti “mikul duwur mendem jero”, “tut wuri handayani” dan sebagainya. Yang pernah kita akui dan tegaskan sebagai puncak – puncak kebudayaan bangsa.

Pakai jilbab atau pakai peci apakah itu salah dikenakan seseorang sebagai ekspresi aqidah agama. Dimana salahnya? Saya mendorong pers berkampanye bukan anti politik identitas, tetapi berkampanye untuk menolak jargon itu digunakan di medianya karena menyudutkan dan mengancam persatuan bangsa.

Mendesak disadari media dan jurnalis agar menegaskan politik pemberitaannya yang bisa menjadi pegangan masyarakat. Pers harus mendeclare posisinya sebagai pihak pengawas atau wasit dalam semua pertandingan. Keberpihakannya hanya untuk menjaga dan melindungi konstitusi, aturan main. Termasuk mengharamkan penayangan berita yang menggunakan istilah politik identitas itu.

Perihal wartawan ikut menjadi pemain, ikut berkontestasi sebagai apapun dalam Pemilu, tentu saja itu menjadi haknya. Tapi harus memilih. Dewan Kehormatan PWI Pusat bulan Maret 2022 telah mengingatkan anggota maupun pengurus PWI di semua tingkatan yang akan menjadi calon anggota legislatif tidak mengerjakan tugas kewartawanan, sedangkan bagi pengurus harus mengundurkan diri sebagai pengurus organisasi.Itu menjadi amanah Pasal 26 Peraturan Dasar PWI hasil Kongres XXIV di Solo Tahun 2018.

Sebelum Kongres PWI Solo 2018, aturan PWI masih memberi kelonggaran bagi pengurus untuk berpolitik, hanya diminta cuti. Sebagai contoh, Ketua Umum PWI Pusat waktu itu mencalonkan diri sebagai Bupati Tulungagung, Jawa Timur pada Pilkada 2017. Dia mengambil cuti, setelah perhelatan selesai, kembali ke posisi semula. Namun, setelah Kongres Solo, PWI menegaskan sikap talak tiga bagi pengurus di semua tingkatan yang ikut politik praktis.

Seruan HPN 2022

Dewan Pers pun dalam Surat Edarannya tanggal 14 Desember 2022 telah meminta agar wartawan berkiprah sebagai wasit yang profesional dan adil. Dewan Pers tidak ingin wartawan melibatkan diri sebagai pemain atau sebagai pendukung para pemain dalam Pemilu atau Pilpres. Dengan begitu wartawan atau pers dapat efektif sebagai alat kontrol sosial masyarakat. Agar sasaran Pemilu sebagai wahana demokrasi bisa dicapai. Dan Pemilu tetap bisa diwujudkan dengan asas bebas, jurdil dan berkualitas.

Trauma Pemilu 2019 lalu memang masih menghantui kita. Total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit akibat kelelahan. Dua petinggi KPU ditangkap KPK terkait kasus korupsi karena menyalahgunakan kewenangannya. Tidak terhitung jumlah anggota DPR, kepala daerah produk Pemilu yang menjadi tahanan KPK membuat kita frustrasi dan meragukan Pemilu dan Demokrasi itu sendiri.

Harga terbesar yang mesti kita bayar, hingga sekarang, terjadi keterbelahan masyarakat. Sungguh memprihatinkan julukan yang tak beradab pada saudara sebangsa kita sendiri: “Cebong” versus ” Kampret” atau “Kadrun”.

Pada Pemilu itu masyarakat memparodikan Pemilu adalah babak Pers VS Pers. Keterbelahan pers digambarkan sangat ironis di mata publik. Anda harus nonton dua stasiun TV sekaligus untuk mendapatkan liputan cover both sides. Ini tidak sepantasnya terjadi justru ketika reformasi bangsa pada tahun 1998 menghadiahi kemerdekaan pers kepada wartawan dan bangsa.