Untuk mendorong kemampuan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, berkolaborasi, berkomunikasi, buku tamemberikan bekal pengetahuan konten belaka. Buku harus membawa anak-anak belajar di dunia nyata dan memberikan contoh konteks dunia nyata.
Menurut Totok, Indonesia sangat beraneka ragam, sehingga tidak adil kalau buku dibuat seragam untuk seluruh negeri. Untuk anak-anak Papua, misalnya, tidak tepat gambaran buku yang “Jawa-sentris”, misalnya yang bercerita tentang jalan tol atau rel kereta. “Dalam rangka merdeka belajar, keragaman buku didorong, tidak dimonopol,” kata Totok.
Ia mendorong penerbitan buku muatan lokal yang mencerminkan keragaman konteks Indonesia. Kearifan lokal bisa diangkat, namun harus dengan cara kreatif. Isinya tidak hanya mencakup bahasa, melainkan bisa juga pengenalan seni, sejarah lokal, dan situs lokal yang membawa sejarah peradaban.
Totok prihatin rendahnya skor kemampuan literasi anak-anak Indonesia menurut PISA. “Andai saja anak-anak dibiasakan membaca, apa saja, dongeng yang baik secara value, majalah, koran, ini mampu menaikkan skor sampai 50 poin PISA,” katanya.
Untuk meningkatkan nilai indek aktivitas literasi, saat ini yang penting anak-anak bisa membaca dulu, baru kemudian akses literasi ditingkatkan, dalam bentuk perpustakaan, sekolah, tenaga, juga buku.
Munas ke-19 Ikapi berlangsung 25-28 November 2020. Pada hari ketiga, Jumat pagi (27/11), akan berlangsung diskusi perbukuan dengan subtema “Menguatkan Industri Perbukuan dengan Program Literasi Nasional” yang menghadirkan Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional Ofy Sofiana MHum dan Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Dr. Ivanovich Agusta. *