PADANG-Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan membahas tiga isu strategis masing-masing bonus demografi, tambang ilegal dan penguasaan tanah oleh asing di Sumbar.
“Kami ingin mendapatkan tanggapan dan masukan dari stake holder di Sumbar terkait isu-siu stratgis ini,” kata Staf Ahli Bidang SDA dan LH Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Asmarni di Padang, Rabu (16/6/2021).
Ia mengatakan berdasarkan Sensus Penduduk (SP) tahun 2020, jumlah penduduk di Sumbar per September 2020 sebesar 5,53 juta jiwa dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64) mencapai 68,65 persen dari total jumlah penduduk. Hal tersebut menandakan Sumatera Barat sedang memasuki masa bonus demografi.
Penduduk usia produktif harus ditingkatkan keterampilan dan daya saingnya, sehingga dapat bersaing dan meningkatkan pembangunan di segala bidang di Sumbar sehingga kedepannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, penduduk usia produktif sebesar 68,65 persen kedepannya diharapkan dapat mananggung penduduk usia tidak produktif sebesar 31,35 persen agar tidak terjadi permasalahan sosial dikemudian hari.
Penduduk usia produktif, diharapkan tidak menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan di Sumbar sehingga stabilitas politik, hukum, dan keamanan dapat tetap terjaga karena berdasarkan data BPS Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2021 sebesar 6,67 persen atau menduduki peringkat delapan dari 34 Provinsi dengan rata-rata nasional 6,26 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin mencapai 6,56 persen.
Sosiologi penduduk Sumbar yang suka merantau menjadi dilema bagi daerah karena apabila tidak tersedia lapangan kerja yang cukup, keterampilan, dan berdaya saing, maka penduduk usia produktif tidak dapat membangun daerahnya dan akan lebih memilih untuk merantau.
Oleh sebab itu pemerintah daerah harus dapat menyusun formula kebijakan yang tepat untuk menyambut bonus demografi di Sumbar.
Di lain sisi potensi SDA Sumbar yang begitu melimpah, mengundang para WNA dan investor asing untuk berlomba-lomba menanamkan investasi maupun untuk memiliki hak atas tanah.
Mencermati hal tersebut pemerintah Indonesia telah membatasi ruang gerak para WNA dan investor asing untuk tidak menguasai tanah maupun pinjam nama di perusahaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Namun para WNA dan investor asing melakukan penyelundupan hukum dengan perjanjian nominee atau mengawani WNI.
Praktik nominee penting untuk dilarang karena membuat peranan investasi asing dalam mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal, teralihkannya keuntungan atas investasi Indonesia ke negara lain, dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan transfer pengetahuan dari perusahaan asing ke perusahaan dalam negeri.