Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Berbagai daerah di Indonesia melalui Surat Keputusan (SK) Bupati/Walikota telah menaikkan harga elpiji 3 kilogram (kg) yang merupakan barang bersubsidi. Usulan kebijakan menaikkan harga ini berasal dari Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) yang kemudian diabsahkan oleh Bupati/Walikota. Besaran kenaikan harga eceran yang ditawarkan kepada konsumen atas ketentuan awal Harga Eceran Tertinggi (HET) gas elpiji 3kg juga beragam.
Kisarannya, yaitu dari harga awal Rp16 ribu menjadi Rp19 ribu (Kabupaten/Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat) sampai Rp60 ribu per tabung (Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah). Lalu, benarkah proses dan mekanisme kebijakan menaikkan harga elpiji 3kg bersubsidi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) tersebut didasarkan pada ketentuan peraturan dan per-Undang-Undangan yang berlaku?
Secara umum, kebijakan penetapan harga suatu produk (barang/jasa) atau komoditas adalah domain yang berada pada kewenangan perusahaan atau korporasi yang menghasilkan barang/jasa tersebut. Namun, khusus untuk produk atau barang/jasa publik bagi kelompok masyarakat tertentu, ada kewenangan pemerintah (pusat) untuk melakukan intervensi agar harga yang beredar di pasaran terjangkau oleh konsumen masyarakat. Kebijakan harga elpiji 3kg bersubsidi inilah yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 tahun 2007 (Perpres 104/2007) tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG/elpiji (Liquefied Petroleum Gas) Tabung 3 Kilogram.
Artinya, segala hal yang berkaitan dengan penetapan harga dan distribusi gas elpiji 3kg bersubsidi sebagai sebuah bentuk penugasan negara dalam kewajiban pelayanan kepada masyarakat atau Public Services Obligation (PSO) harus tunduk pada ketentuan Perpres 104/2007 ini. Sedangkan ketentuan mengenai proses dan mekanisme penetapan harganya diatur dalam peraturan menteri (dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/KESDM) dan ketentuan teknis lainnya sesuai hirarki (tata urutan) peraturan dan per-UU-an yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (termasuk aturan Kementerian Dalam Negeri/Kemendagri).
*HET Dan Rumah Tangga Sasaran*
Mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009 (Permen ESDM 26/2009) tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 7 didefinisikan mengenai penyalur LPG, yaitu koperasi, usaha kecil, dan/atau badan usaha swasta nasional yang ditunjuk sebagai agen oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga (BPIUN) LPG untuk melakukan kegiatan penyaluran. Dan, ayat 9 menetapkan mengenai LPG tertentu, yaitu merupakan bahan bakar yang mempunyai kekhususan karena kondisi tertentu seperti pengguna/penggunaannya, kemasannya, volume dan/atau harganya yang masih harus diberikan subsidi.
Ayat inilah yang menjadi dasar hukum ditetapkannya elpiji 3kg bersubsidi oleh pemerintah. Termasuk pada ayat 14 dan 15 dalam ketentuan umum ini mengatur soal sistem pendistribusian dan kartu kendali sebagai alat pengawasan dan pendistribusian LPG tertentu. Pertanyaannya sudahkah sistem pendistribusian dan kartu kendali diterapkan sebagai alat pengawasan disaat masih jebolnya kuota elpiji 3kg bersubsidi dan keluhan Presiden atas membengkaknya alokasi anggaran subsidi BBM dan elpiji 3kg sampai Rp502,4 triliun?
Mengenai harga jual elpiji 3kg bersubsidi ini diatur dalam Pasal 23 dan 24 yangmana terdapat dua (2) klasifikasi, yaitu harga patokan LPG tertentu dan Harga jual eceran LPG tertentu (HET). Harga patokan LPG tertentu dalam ayat 3 dinyatakan harus didasarkan pada harga yang ditetapkan oleh Menteri (ESDM). Sedangkan, HET ditetapkan oleh Menteri berdasarkan hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) sesuai dengan ketentuan per-UU-an.
Pada Pasal 24 ayat 4, memang ada kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi bersama Pemda Kabupaten/Kota menetapkan HET LPG tertentu pada titik serah terima disub penyalurnya dalam marjin tertentu didasarkan pada kondisi daerah dan daya beli masyarakat. Tentu saja kewenangan Pemda ini memperhatikan klausul ayat 3. Artinya, Hiswana tidak bisa mengusulkan begitu saja perubahan atau kenaikan HET melalui SK Bupati/Walikota tanpa persetujuan pemerintah. Tanpa persetujuan pemerintah, maka SK Bupati/Walikota mengenai kenaikan HET elpiji 3kg bersubsidi adalah illegal!
Bahkan, sudah terdapat ketentuan persetujuan kenaikan harga elpiji 3kg bersubsidi ini dalam Peraturan Bersama Menteri ESDM dan Mendagri Nomor 17 dan 5 Tahun 2011 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pendistribusian Tertutup LPG di Daerah yang juga harus ditaati Hiswana Migas, Bupati/Walikota. Pelanggaran atas ketentuan ini jelas merupakan tindakan melawan hukum dan konstitusi serta tidak sah, oleh karena itu harus dicabut serta diberikan sangsi sebagaimana yang ditetapkan dalam Permen dimaksud.
Selain itu, pelanggaran dan penyimpangan pendistribusian elpiji 3kg bersubsidi ini kepada RT sasaran dan usaha mikro juga terbuka luas disebabkan tidak adanya pengertian dan penjelasan hal ini dalam ketentuan umum Permen ESDM 26/2009. Seharusnya Permen ESDM menentukan pengertian lebih jelas dan lengkap terkait seleksi kriteria RT sasaran agar penyimpangan dapat diantisipasi secara dini. Apalagi pengertian titik serah terima disub penyalur (pangkalan agen LPG) terkait kebijakan penetapan kenaikan HET elpiji 3kg bersubsidi ini tidak dijelaskan secara rinci dalam ketentuan umum Permen ESDM. Oleh karena itu, kami mendesak Menteri ESDM dan Menteri Dalam Negeri bertindak sesuai kewenangannya atas pelanggaran hukum dan konstitusi ini!